Tradisi menganyam boleh dikata telah mendarah daging bagi mereka para pengrajin. Dikatakan telah mendarah daging karena tradisi menganyam merupakan tradisi dan budaya ramah lingkungan yang telah ada secara turun temurun sejak dulu hingga kini.
Dahulu kala, tikar pandan dalam masyarakat Melayu di Kabupaten Kayong Utara (KKU) merupakan salah satu bukti nyata bahwa seorang wanita dinyatakan siap menikah apabila wanita tersebut sudah bisa menganyam tikar pandan dan begitu juga sebaliknya wanita tersebut tidak boleh menikah kalau belum bisa menganyam tikar pandan.
Pucuk Rebung tak lain merupakan salah satu motif anyaman tikar pandan yang sangat populer hingga saat ini dalam masyarakat Melayu di Tanah Kayong (sebutan untuk masyarakat Kayong Utara), Kalbar. Motif ini melambangkan kehidupan baru yang akan tumbuh dan bermanfaat bagi orang lain.
Menganyam pandan atau membuat tikar pandan membutuhkan keterampilan khusus karena seseorang dalam membuat jaring atau simpul yang kemudian menyatukan lembar tali pandan menjadi rapat dan tersusun dengan baik sesuai dengan bentuk dan ukuran yang diinginkan seseorang dituntut untuk lebih tekun dan sabar dalam menganyam tikar.
Ini Cerita Singkat Pengrajin di Tanah Kayong yang Merawat Sekaligus Melestarikan Lingkungan dan Tradisi :
Seperti Ibu Ida misalnya, Wanita separuh baya tersebut menuturkan, ia mulai menganyam sejak remaja (usia belasan tahun). Karena pada saat remaja budaya di tempat tinggal Ibu Ida mengharuskan setiap perempuan untuk bisa menganyam tikar pandan. Hal ini terus ditekuninya hingga saat ini karena Ibu Ida memiliki ketertarikan yang sangat dalam terhadap anyaman pandan.
Sebelumnya, sejak muda Ibu Ida terbiasa bekerja ladang atau bertani di gunung atau di hutan bersama orangtuanya. Hal ini tetap dilakukannya bahkan setelah menikah dan berkeluarga. Dari hasil pertanian tersebut Ibu Ida bisa mendapatkan kebutuhan pokok seperti beras dan sayuran. Tapi tidak begitu menguntungkan untuk membiayai sekolah anak-anaknya maupun untuk membantu ekonomi keluarganya Ibu Ida menjual tikar pandan. Tapi tidak begitu menguntungkan karena jarang sekali orang yang membeli dan itupun biasanya hanya keluarga dan kerabat dekat saja yang membeli.
Hingga pada akhirnya pada tahun 2011, Ibu Ida mendaftarkan dirinya kepada Yayasan Palung untuk bergabung menjadi anggota kelompok pengrajin yang dibina oleh Yayasan Palung. Ibu Ida mengikuti semua kegiatan dan pelatihan yang diadakan oleh Yayasan Palung. Karena ketekunan dan semangatnya Ibu Ida mulai dikenal banyak pihak karena keterampilannya dalam mengembangkan anyaman pandan.
Secara khusus, Ibu Ida kini mulai merasakan manfaatnya, saat ini Ibu Ida bisa menghitung keuangan keluarganya dengan menambahkan nilai pemasukan rata-rata yang diperolehnya setiap bulan melalui penjualan produk kerajinannya. Karena ketekunan dan konsistensi Ibu Ida dalam menganyam pandan.
Saat ini (2016) Ibu Ida menjadi tokoh kerajinan pandan di daerahnya. Pemerintah menjadikan Ibu Ida sebagai model untuk kerajinan pandan dengan menjadikan rumah kediamannya sebagai pusat Unit Kegiatan Masyarakat (UKM) yang diberi label “Ida Craft”. Disamping itu, pada tahun 2015 Ibu Ida pernah diminta melatih masyarakat yang ada di Papua untuk menganyam pandan dengan memanfaatkan bahan baku pandan yang tersedia di daerah tersebut. Selama 1 minggu Ibu Ida menetap disana dan membantu masyarakat untuk menganyam dan mengembangkan produk kerajinan pandan.
Di tahun 2016 ini rata-rata penghasilan dari masing-masing pengrajin yang ada di kelompok Ibu Ida atau “Ida Craft” adalah sebesar Rp.1,500,000/ bulan dari penjualannya kepada pemerintah, selain juga beberapa tas anyaman dari pandan dipesan dari pengrajin untuk gawean (acara) Sail Karimata 2016.
Menurut F. Wendi Tamarariska, Program Manager, Sustainable Livelihood dari Yayasan Palung sekaligus pendamping pengrajin HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) mengatakan: “Bekerjasama dengan Pemerintah Daerah merupakan salah satu cara yang ditempuh oleh pengrajin, dan melalui kerjasama yang terjalin sejak tahun 2012 hingga saat ini, pengrajin pandan di sekitar Taman Nasional Gunung Palung bisa merasakan manfaat ekonominya melalui penjualan rutin setiap bulan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kayong Utara. Dalam data penjualan yang terakhir pada bulan Agustus 2016, 31 orang pengrajin pandan di Kabupaten Kayong Utara telah menjual sebanyak 1.089 pcs produk anyaman pandan dan menerima pemasukan sebesar Rp.82,285,000 dari penjualan tersebut. Hal ini yang kemudian menjadi motivasi dan semangat bagi para pengrajin pandan ditempat kami untuk tetap bersemangat dalam mempertahankan tradisi menganyam ini”.
Selain itu, menurut pria yang sehari-harinya disapa Wendi tersebut mengatakan; Dalam data penjualan pengrajin pandan, sejak bulan Februari 2016 hingga Agustus 2016 (penjualan selama enam bulan) kelompok pengrajin telah memproduksi sebanyak 1,089 pcs tas pandan dengan desain, kualitas dan ukuran yang sama dan bisa diterima dengan baik oleh pembelinya yaitu DEKRANASDA KKU. Sebagai pembeli, DEKRANASDA KKU memiliki beberapa syarat kualitas, desain dan ukuran, sehingga ada sekitar 70 pc tas pandan sempat ditolak karena tidak sesuai dengan desain, kualitas dan ukuran yang diinginkan oleh DEKRANASDA (Dewan Kerajinan Nasional dan Daerah), Kabupaten Kayong Utara, tuturnya lagi.
Nilai sejarah, nilai budaya, keunikan, kerapian, dampak dan manfaat lingkungan merupakan poin penting dalam menilai kualitas dari sebuah produk. Seni rakyat diciptakan dengan ‘hati’, kesetiaan, ketekunan dan kesabaran. Ada banyak cerita disetiap produk yang dihasilkan oleh kesenian rakyat karena kesenian rakyat merupakan identitas suatu budaya dalam masyarakat. Maka disitulah letak kualitas terbaik dari sebuah produk yang diciptakan oleh kesenian rakyat.
Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H