Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Segala Nafas Beradu Mengadu

12 Juli 2016   15:03 Diperbarui: 12 Juli 2016   15:22 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skenario alam. Foto dok.dream.co.id

Dari lahir hingga akhir nafas, nafas segala bernyawa. Inginku mengadu, tetapi bukan untuk adu domba.

Mengadu bukan berarti dokma, bukan berarti menyabung, mengadukan, beradu, aduan atau mendakwa.

Tidak berarti pasrah, tidak pula untuk menyerah,

Namun, tak lebih hanya sekedar diskusi bukan berkelahi tanpa solusi,

Ini soal nafas segala bernyawa,

Terkungkung dalam liang pondok ladang, di hutan tak lagi  rimba, rimbun atau raya.

Terhimpit, terjepit dalam parung, jurang yang dalam.

Merintih, tertatih, letih dalam doa menati harap,

Menyibak rasa dalam relung kalbu tak kunjung datang,

Keras, lembut berpadu menyatu tak ubah seperti duri dalam daging,

Kokoh berdiri, rebah sama; tetap saja terkulai layu, tersemai diserbu si jago merah,

Tangis derita cepatlah berakhir,

Sayup suara kepak sayap juga paduan suara merdu isi rimba raya kian dinanti,

Sakit, tersakiti, itu telah terjadi,

Meniti tali mencari solusi,

Tangga, kursi, meja sering beradu sama seperti mengadu,

Mengadu mengatasnamakan mengampu, mengampu menjadi mampu,

Mampu menjadi jerat terjerat senjata makan tuan atas dosa mengatasnamakan daulat rakyat,

Terkunci di balik jeruji besi,

Berjuta hektar rimba tak bertuan terpancung, terpotong, terkikis oleh sarung pedang bernama tanda pena bertinta emas,

Akar rumput tergusur oleh tangan-tangan tidak terlihat bermuara para penjilat yang mengikat/terikat oknum pejabat,

Tinggal melarat hingga sekarat. 

Kering kerontang membakar segenap penjuru semak-semak, tajuk-tajuk yang tak lagi rimbun namun terkulai,rebah botak bersisir rapi.

Lambaian angin tak tentu arah menyebar tersebar di penjuru pelosok hingga negeri raksasa.

Pagi menjelang siang, siang menuju senja hingga larut dan subuh kembali menyapa tentang bingkai peristiwa yang tak bisa diprediksi.

Segala nafas menanya, entah kapan akan berlanjut atau dicabut dijemput rajutan-rajutan sakit sekaratnya bumi pertiwi serta merta serasa lengkap sudah menderita.

Menanti kendali keikhlasan tanpa batas, tanpa paksa  untuk secerca harap bernafas lega, tegak berdiri kokoh tanpa pamrih jika boleh berlanjut serta abadi lestari.

Ketapang, Kalbar, 12 Juli 2016

By : Petrus Kanisius-Yayasan Palung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun