Gemuruh rebah, saban waktu terdengar hingga kapan berlalu. Entahlah, kami sungguh tidak tahu.
Rebahmu sebagai penanda terlulai layu tak bertuan hingga sakitku kambuh. Sakit kronis atau tidak tetapi yang pasti sakit.
Sakitku kambuh mengaduh, gaduh, luluh tidak lagi teduh. Namun, haruskah aku menyalahkan rebahmu.
Meronta, meraung mengadu juga mengaduh gaduh. Itu aku, ini adanya kini.
Rinai rintik menyiram, tercurah mengalir diambang batas. Koar kelakar terlontar, tersiar menyebar.
Panas terik membakar kulit, semak belukar bersama belantara. Terpanggang menjadi arang juga abu.
Anomali cuaca, badai topan, angin kencang menghadang menerjang. Porak poranda berantakan bangunan terpencar tidak tersisa.
Nyanyian para satwa berganti isak tangis karena duka lara. Nyanyian merdu berganti sayup hingga sunyi terdengar.
Bumi sudah semakin sarat muatan karena usia yang renta. Tingkah polah penghuni sudah semakin gerah, resah juga  gelisah.
Sakitku semakin sakit, sakitnya di sana sini. Menanti obat pereda juga pemulih jikalau ada tabib, dokter yang berbaik hati.
Sakitku pulih jika rebahmu bisa berdiri kokoh kembali untuk bernyanyi bersama riang tanpa henti hingga nanti lestari abadi.
Ketapang, Kalbar 23 Juni 2016.
By : Petrus Kanisius-Yayasan Palung