Riuh rendah, hilir mudik menyapa bila tiba pancaran sinar mentari pagi untuk memulai segalanya.
Sorak sorai langkah, sahut menyahut menyambut semua nafas segala bernyawa menanti, mencari penyambung nyawa.
Gemuruh riuh menyambut gema akan realita peristiwa kehidupan dari waktu ke waktu, demikian terus berulang sepanjang hayat.
Perjalanan waktu terus berjalan seirama asa, harapan juga semangat yang tersisa.
Waktu tersisa seakan memberi tanda apakah ragu ataukah melangkah maju.
Mengisi, menjalani, melakukan irama nyanyian merdu terkadang sumbang. Itu ritme lagu duniawi yang tidak bisa disangkal apalagi ditolak. Luka derita dibalut bahagia oleh sesama. Suka gembira bersama tanpa pamrih.
Panas terik, hujan badai membasahi seluruh tubuh namun tak dihirau demi sesuap nasi demi generasi untuk terus berlanjut.
Menjelang senja hingga malam tiba, tubuh rebah rehat sejenak menanti pagi kembali.
Perintis mewariskan dogma tentang ajaran perilaku tanpa ragu tentang harapan, tindakan, doa serta semangat hingga tumbuh berkembang menjadi kita kini. Perintis tiada lelah memberi walau tak mengharapkan imbalan. Marah berarti sayang, kasih ikhlas tanpa batas, tak ternilai bila dihitung.
Roda terus berjalan sama seperti waktu, namun roda berputar yang keberadaannya tidak menentu. Terkadang berada  diatas, terkadang ditengah ataupun dibawah sekalipun.
Rona hidup kehidupan masing-masing tak sama, pancaran bercahaya apakah itu putih atau hitam mengelilingi benak pikiran saat menyatu bersama bersoasialisasi tentang dokma dan makna menjadi arena di segenap penjuru di bumi, terlebih bumi pertiwi tempat berpijak.
Tengoklah, lihatlah apa yang terlihat dari fakta realita nyata, tentang;
Bumi meratap sedih seperti tak bertuan, bertahan dalam waktu yang semakin tua.
Manusia tak jarang menangis tersedu mengadu bercerita mengenai belada kehidupan; kehidupan lembut, keras, terhina juga terpandang.
Langkah gontai, luluh layu beriring bersama langkah maju glamor para pembesar juga saudagar.
Hutan meranggas rebah tak berdaya bicara dalam bahasanya menjadi sama resahnya para satwa bersama seisi rimba yang masih tersisa menanti ajal entah kapan waktunya tiba.
Ucap syukur bila beroleh rejeki, itu sejatinya. Tetapi, terkadang selalu lupa.
Mengaduh sampai gaduh mengadu kepada sesama hingga Sang Maha Segala, namun tak memperbaikinya.
Jujur tentang perilaku acap kali lenyap akibat kalah bersilat lidah mengatasnamakan Yang Kuasa jikalau mengumbar janji melukai bilah-bilah nurani.
Warna-warni perbedaan terlihat indah seperti pelangi membaur menyatu namun sering dicemburui hingga dibumbui aroma tapi tak sedap oleh tangan-tangan tidak terlihat.
Kokohnya satu kesatuan menjadi simbol kuat berakar membalut negeri yang terluka agar tetap terus berdiri bersama merah putih agar tetap berkibar mengabarkan merdeka dari segala lini, menyambut damai bagi segenap tanpa pandang dari mana ia berasal. Bukankah, baik dan indah adanya jika tangga nada kehidupan bila dinyanyikan, dimainkan, dikumandangkan sesuai irama oleh semua dengan syarat bila berpatokan pada karangan lagu Sang Pencipta.
By : Petrus Kanisius- Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H