Tengoklah, lihatlah apa yang terlihat dari fakta realita nyata, tentang;
Bumi meratap sedih seperti tak bertuan, bertahan dalam waktu yang semakin tua.
Manusia tak jarang menangis tersedu mengadu bercerita mengenai belada kehidupan; kehidupan lembut, keras, terhina juga terpandang.
Langkah gontai, luluh layu beriring bersama langkah maju glamor para pembesar juga saudagar.
Hutan meranggas rebah tak berdaya bicara dalam bahasanya menjadi sama resahnya para satwa bersama seisi rimba yang masih tersisa menanti ajal entah kapan waktunya tiba.
Ucap syukur bila beroleh rejeki, itu sejatinya. Tetapi, terkadang selalu lupa.
Mengaduh sampai gaduh mengadu kepada sesama hingga Sang Maha Segala, namun tak memperbaikinya.
Jujur tentang perilaku acap kali lenyap akibat kalah bersilat lidah mengatasnamakan Yang Kuasa jikalau mengumbar janji melukai bilah-bilah nurani.
Warna-warni perbedaan terlihat indah seperti pelangi membaur menyatu namun sering dicemburui hingga dibumbui aroma tapi tak sedap oleh tangan-tangan tidak terlihat.
Kokohnya satu kesatuan menjadi simbol kuat berakar membalut negeri yang terluka agar tetap terus berdiri bersama merah putih agar tetap berkibar mengabarkan merdeka dari segala lini, menyambut damai bagi segenap tanpa pandang dari mana ia berasal. Bukankah, baik dan indah adanya jika tangga nada kehidupan bila dinyanyikan, dimainkan, dikumandangkan sesuai irama oleh semua dengan syarat bila berpatokan pada karangan lagu Sang Pencipta.
By : Petrus Kanisius- Yayasan Palung