Hutan tanah air menyebar dan menjalar tanpa henti dulu untuk penopang sendi-sendi nafas kehidupan segala bernyawa dengan sama saling mengasihi. Kini apa daya, si hutan hujan menuai derita, menanti di kasihi.
Dikasih bukan untuk pamrih atau pilih kasih, karena kasih itu harus segera dinanti mengingat hutan kian meranggas dan terus tersakiti.
Si hutan menanti dikasihi, siapa yang harus mengasihi?.
Mungkin bila boleh dijawab, ini tanggungjawab semua. Siapa semua?. Kita semua (manusia) sebagai makhluk yang sempurna dibandingkan makhluk lainnya. Namun apakah kita sudah (telah) sempurna membagi kasih/mengasihi si hutan hujan?.
Berpuluh-puluh tahun tersakiti, mungkin kata itu yang terlihat dan nyata. Realita bicara, rebah tak berdaya terjerembab, terpotong-potong, terkuliti hingga tersayat-sayat.
Riuh tangis, gaduh mengaduh rimba raya bersama satwa mengabarkan bahwa semua dalam derita dan menanti kasih/dikasihi.
Hutan hujan memberi berkat (berkah) berupa air sebagai nafas hidup.
Nafas hidup segala bernyawa, tapi bisa merengut nyawa bila si hutan tak lagi mampu menyerap.
Teduh berganti gersang,
Gersang itu tak lain padang ilalang, menjadi genderang tabuh, riuh saat panas menyengat (tersengat).
Peluh keringat petani terlihat, hingga pembesar tak ingin kalah memakai pendingin ruangan gedung pencakar. Petani tetaplah petani dan pembesar tetaplah pembesar sama-sama mengharap si hutan hujan namun berlainan visi.