Pelaut terombang ambing gelombang menyisir dermaga mencari tenang untuk berlindung di sungai yang ada rimba. Apa dikata, rimba terlampau rebah. Tak berdaya terkulai layu, tak mampu menahan laju derasnya rinai rintik bila gemericik mulai turun dari langit. Â Â
Semak belukar berdamping sejajar dengan tanah gambut yang kian kering kerontang.
Kering kerontang itupun semakin mudah tersulut dan terbakar bila kemarau panjang tiba.
Dari yang baru tumbuh, sedang hingga berdiameter besar berbaur melebur terlebur rebah saling menyatu bertanya apakah mereka dikasihi atau tersakiti.
Siulan dan nyanyian para satwa kian sayup terdengar, menanda sekaligus menjadi tanda penanya sebagai berbagi untuk saling mengasihi. Tajuk-tajuk nan rimbun tercukur, bersisir rapi hingga botak.
Menyapa, menanya, apakah masih ada kasih atau perlu dikasihi?.
Rimba raya yang tak lain pula adalah si hutan hujan memberi kabar juga berkisah, tentang hidup segan mati sudah pasti.
Mencoba bersembunyi dalam rebah, terbongkar saat diangkut.
Menjadi tanda sewaktu belum terjadi, setelah terjadi semakin bergemuruh menghampiri. Gemuruh itu tidak lain adalah gelombang. Gelombang itu bernama pasang, gelombang pasang, ada yang menamainya yang lainnya pula banjir bandang.
Banyak yang bilang itu bencana. Tapi apakah itu benar bencana?. Siapa penyebab bencana?. Entahlah, tetapi yang pasti itu karena sebab juga akibat.
Bertutur juga mendongeng, tentang arti mengarti si hutan hujan yang perlu menanti dinanti dikasihi. Namun mampukah, melawan dokma para pembesar melintas batas mencari cara tiada henti membabat, memotong dan menggergaji tanpa menabur dan menanam.