Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Aku Semakin Tua Renta dan Tak Berdaya, tetapi Apa Daya Itu Nyata!

13 April 2016   13:58 Diperbarui: 13 April 2016   14:37 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pohon menjadi tunggul. Foto dok. Reno-Yayasan Palung.

Berawal dari kisah penciptaan Alam semesta oleh Pencipta untuk generasi pertama penghuni Jagat Raya,

Hingga kini sampai pada masanya aku, kita semua.

Menjadikan aku (bumi, alam semesta, rimba raya) sebagai pelengkap juga nafas

Pengasuh juga pengasup bila biji-biji  mulai  bertunas, batang hingga sampai menjadi mahkota terurai lebat.

Pelindung tempat berlindung, melindungi, menaungi jiwa-jiwa penghuni bumi,

Menjadi Penyejuk jiwa kala pesona memancarkan kemolekan saban waktu yang selalu dinanti,

Rinai rintik, itu penghapus dahaga menjadi sorak -sorai, sahut -menyahut sontak terdengar menanti asa tumbuh hingga berlanjut.

Tak dinyana bukan hal istimewa yang tersiar, tetapi akan nasibku yang semakin tua.

Tak hanya tua tetapi tak berdaya lagi, apa daya tubuh semakin gontai karena dibantai,

Disikat hingga dibabat.

Kemolekanku itu mungkin dulu, entahlah mungkin karena aku semakin sadar dan semakin tua atau aku semakin pikun, melihat jaman berganti waktu hingga berganti masa, sama saja. Aku tetap seperti ini.

Tidak merengek untuk dikasihani

Menumbuh, tumbuh?. Sejatinya demikian, namun masih sanggup kah aku bertumbuh hingga berkembang untuk nafas hingga nanti?. Aku tidak tau!!!... hanya kalian yang mengetahui, Sang Pencipta pasti  lebih mengetahui karena Maha segala. Adanya aku, pasti Tuhan punya rencana terlebih bagi semua nafas segala bernyawa. Bagaimana jika kalian, kita semua tanpa aku?. Mampukah? Bukankah kalian bisa merasa, merasakan apa yang terjadi kini?. Bukankah semakin aku rebah kalian pula semakin terkena imbasku. Bahkan aku dibilang biang bencana, akankah sesungguhnya biang bencana?

Yang ada kini aku terus ditelanjangi, dibotak bilapun tidak bersisir rapi tumbuh seragam menggantiku. Untuk penerus namun tengoklah sepertinya aku terus tergerus, Rimba berganti wajah, Wajah itu tak lain semakin lapang, padang gersang, hingga tunggul bersatu dengan padang ilalang juga semak belukar. Bertuan?. Entahlah. Acap kali, tumpahan tangisan dari langit berpadu dengan tangis jerit para penghuni bumi. Tangisan itu, tak lain; Banjir bandang menjumpai bersama longsor, Luapan air bercampur tanah juga lumpur berbaur menyatu,

Mengabarkan tentang bumi, alam semesta, rimba raya yang tidak lain adalah aku yang semakin tua renta dan tak berdaya. Namun apa dayaku?. Semula aku bisa menahan rasa sakitku dengan penghuni yang semakin padat. Kini aku semakin lemah, luluh layu entah kapan waktu berakhir atau juga bisa berlanjut?. Aku tidak tahu. Siapa yang peduli?. Atau Mana peduli? Sejujurnya semua tergantung pada sesama penghuni alam raya ini, jika mereka bisa menghargaiku mungkin aku masih boleh berlanjut. Namun jika tidak, aku akan semakin tak berdaya dan tak mampu menopang sesamaku semua nafas segala bernyawa.

 

Ketapang, Kalbar  13 April 2016.

By : Petrus Kanisius ‘Pit’-Yayasan Palung

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun