Tumbuh dan bertahan dalam Kering Kerontang. Foto dok. Petrus Kanisius Pit.
Rumahku istanaku, itu menjadi salah satu slogan yang menyatakan tentang tempat tinggal (gubuk/rumah/gedung) atau apapun itu sama saja dengan hutan dan isinya sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. akan tetapi, kini sepertinya keberadaan dan keadaannya semakin krisis.
Awalnya hutan dan isinya konon menjadi hubungan yang sangat erat dan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. banyak literatur yang menyatakan demikian tentang hubungan antara manusia, hutan dan segala isinya untuk selalu berdampingan serta menjaga. Sebuah ironis sepertinya sedang berlangsung.
Mengapa demikian?. Hutan dan segala isinya tampaknya semakin krisis. Apa penyebab hutan dan segala isinya atau yang mendiami hutan seperti ragam jenis tumbuh-tumbuhan, primata, burung, reftil dalam ancaman nyata (diambang terkikis habis atau semakin krisis). Penyebab hal tersebut tidak lain sebagai sebuah gambaran jelas untuk menyatakan realita saat ini menyangkut hubungan  erat yang dulu pernah ada (satu kesatuan yang tidak terpisahkan) sudah semakin pudar. Kearifan lokal tidak banyak lagi yang menjalankan, larangan atau tata aturan adat istiadat masyarakat acap kali (di/ter) abaikan. Hutan dan tanah pun semakin sering dibuka untuk beberapa kepentingan yang sering kali pula melupakan tata aturan dan kearifan lokal.
Paru-paru dunia yang sering menjadi gaung keindahan Borneo pun perlahan semakin meredup. Tajuk- tajuk pepohonan yang dulu menjadi kebanggaan bisa dikata semakin rebah tak berdaya saja dalam jumlah yang besar. Tanaman pengganti yang ditanam itu kenyataan saat ini. Dari Sumatera sampai Kalimantan itulah ladang baru tanaman baru tersebut, apa tanaman baru tersebut?. Jawabannya adalah tanaman Sawit (Perkebunan Kelapa Sawit). Pada kenyataannya tanaman pengganti jika pengelolaannya baik bukan menjadi persoalan. Tidak banyak yang mematuhi tata laksana, regulasi kesepakatan sebagai syarat utama pemilik. Acap kali pula menuai persoalan baru, persoalan untuk konflik batas hingga berdampak lingkungan (pencemaran dampak lingkungan). Pengambilan isi perut bumi melebihi ambang batas pun demikian adanya terjadi.
Luasan tutupan hutan dan beragam jenis satwa serta jenis lainnya tidak lagi bisa seutuhnya hidup berdampingan. Tutupan hutan semakin sedikit yang bisa berdiri tegak, berbanding terbalik dengan jumlah luasan hutan yang semakin banyak rebah tak berdaya.
Semakin krisis ataupun semakin tersisihnya hutan ditempatnya dimana ia berasal kini pun kian terlihat dan terasa. Terlihat ketika ladang gersang bersama semak belukar tak mampu lagi menahan derasnya air yang turun dari langit. Kita sering berjumpa atau melihat banjir menghampiri di mana-mana. Demikian pula tanah labil dan longsor terjadi yang tidak jarang pula merepotkan atau memakan korban jiwa.
Tidak kalah krisisnya adalah nasib penghuni hutan berupa satwa atau primata yang keberadaannya semakin kritis (terancam punah). Habitat hidup mereka kian tergusur dan tergerus akibat kalah bersaing dengan para pebisnis dan industri. Ditambah pula oleh para oknum pemburu dan perdagangan gelap satwa menambah derita satwa diambang punah dan tidak berbekas menjadi cerita juga tinggal kenangan.
Bumi pun sudah terlampau hangat hingga mendidih. Cuaca juga demikian adanya, sulit diprediksi. Nelayan dan petani tak seperti dulu lagi bisa menentukan arah, target dan tujuan mereka. Gagal panen dituai kala musim kemarau dan hujan yang tidak menentu. Tangkapan yang kian berkurang karena tingginya gelombang. Beragam karang dan ikan di lautan juga semakin menipis.
Setiap bulan kita selalu memperingati berbagai hari penting tentang untuk selalu mengingatkan kita pada peristiwa tertentu, ataupun kesepakatan untuk memperingatinnya sebagai pengingat dan penanda tentang arti pentinya peristiwa itu. Misalnya saja tanggal 2 februari lalu di peringati sebagai hari Lahan Basah Sedunia. 5 maret mendatang diperingati sebagai hari Konvensi Cities. 20 maret diperingati sebagai hari Kehutanan Dunia. 22 April, sebagai Hari Bumi. 19 Agustus, hari Orangutan Sedunia dan diperingati di bulan november selama sepekan dengan peringatan Pekan Peduli Orangutan. Tentunya rangkaian tanggal dan bulan tersebut memberikan gambaran kepada semua untuk terus diingatkan, untuk peduli dan memperhatikan setiap tanggal dan bulan yang disepakati sebagai pedoman bagaimana sejatinya menjadi ingatan bersama tentang keadaan dan kutuhan mereka menjadi tanggungjawab bersama dalam setiap peristiwa tersebut.
Setiap peristiwa yang menyangkut alam dan lingkungan ataupun satwa saat ini sedang berlangsung dan bersentuhan langsung (terjadi) dengan kita (manusia) ketika banjir, longsor menghampiri kerap alam disalahkan. Apa benar alam yang salah?. Atau manusianya?.
Semakin krisisnya keberadaan hutan dan segala isinya serta lautan dan isinya sebagai pertanda, hubungan erat antara manusia dengan alam semesta sudah semakin tidak akrab lagi. Ada yang menyatakan hutan dan tanah air sebagai nafas hidup, tetapi ada pula yang menjadikan hutan dan lautan beserta segala isinya untuk disakiti. Setelah disakiti, sejatinya bukan karena alam membalas namun karena ulah/tindakan manusia yang semakin serakah.
Alam semesta beserta segala isinya sudah semakin tua dan renta yang mungkin akan semakin cepat terkikis habis jika tidak diobati dengan rasa, tindakan untuk saling menjaga. Bila tidak, bukan tidak mungkin alam semesta tak mampu lagi menjaga seisinya. Mungkin jika hutan dan segala isinya bertanya, maka mereka akan bertanya mengapa mereka semakin krisis?. Semoga saja bumi, alam semesta dan isinya bisa lestari. semoga...
By: Petrus Kanisius 'Pit'- Yayasan Palung
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H