Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), dengan melihat berbagai aspek kehidupan terkait penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) sudah saatnya menjadi acuan sekaligus sebagai patokan untuk ditetapkan dan diterapkan.
Mengingat sumber ekonomi dan kekayaan di negeri ini tidak lagi menjadi monopoli semata, melainkan berasaskan kebersamaan dan kemerataan secara berkelanjutan.
Secercah harapan dengan adanya Raperda Kalimantan Barat diharapkan mampu mengakomodir situasi lingkungan saat ini yang berasaskan pada pasal 33.
Sumber kebijakan tentang pengelolaan sumber daya alam adalah Pasal 33 ayat (3), secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan orang ataupun seorang.
Dengan kata lain monopoli, tidak dapat dibenarkan namun fakta saat ini berlaku di dalam praktek-praktek usaha, bisnis dan investasi dalam bidang pengelolaan sumber daya alam sedikit banyak bertentangan dengan prinsip pasal 33.
Bunyi pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut: ayat (1) berbunyi; Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat (2); Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, ayat (3) menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, ayat (4),
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional dan ayat (5); Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Sebagai pengingat sederet catatan-catatan terkait ketimpangan pemerataan ekonomi di Negeri ini tidak kunjung henti hinggap dan datang silih berganti tanpa ada kontrol terus menjadi biang persoalan.
Pertama, pengerukan dan kerusakan sumber daya alam dalam hal ini eksploitasi tanpa melihat aspek keberlanjutan dari nasib alam dan lingkungan serta manusianya.
Pembukaan lahan secara besar-besaran berpengaruh pada (hutan dan satwa-satwa), hutan semakin menipis dan habitat hidup satwa kian menyempit dan terjepit, belum lagi ditambah dengan lemahnya pengawasan dan tata kelola yang mengabaikan arti penting fungsi dan manfaat lingkungan bagi kehidupan makhluk hidup.
Pencemaran, semakin seringnya bencana terjadi membuat semakin sulitnya bertahan hidup.
Kedua, Semakin meluasnya laju kerusakan lingkungan dan investasi dari investor (pemilik modal dan pelaku pasar) secara tidak sengaja dan tidak terkendali berimbas kepada hak-hak masyarakat yang terabaikan.
Keadilan dan pembiaran akan berbagai sumber konflik terjadi, perebutan lahan, pembagian hasil yang sedikit banyak menimbulkan pengaruh sosial dan ekonomi masyarakat.
Kesenjangan terjadi, ketimpangan ekonomi masyarakat menyulut aksi dan berakhir pada sebuah dilema baru bernama Kejelasan pedoman atau aturan yang terabaikan.
Ketiga, Pengelolaan SDA tidak terkontrol. Pengelolaan SDA yang dimaksud adalah minimnya fungsi pengawasan, hukuman, tata kelola dan kebijakan menyangkut persoalan-persoalan lingkungan, sehingga menjadi bias keberadaan ketersediaan kekayaan alam yang kian memprihatinkan.
Sampai saat ini fungsi pengawasan dan regulasi hanya sebatas syarat tanpa adanya penetapan. Keempat, Kewajiban dan tanggungjawab dari perusahaan-perusahaan untuk mentati Amdal, membuat kawasan sebagai area hijau dan area konservasi bagi satwa dan tumbuh-tumbuhan dilindungi sepertinya banyak diantara perusahaan enggan menerapkannya. Hal ini tentu saja menjadi sangat rancu ketika hanya sebatas wacana dan seelogan belaka.
Kelima, pasal 33 ayat (4) menyebutkan, Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Namun, kemakmuran bagi seluruh rakyat berbalik menjadi penguasaan bagi seluruh rakyat. Kebersamaan berubah menjadi monopoli yang cenderung mengabaikan kemajuan dan berpotensi memancing isu-isu perpecahan di beberapa daerah.
Mengingat keadilan, kesetaraan, penghargaan hak-hak masyarakat dan kemakmuran tergolong terabaikan. Sumber daya alam terkuras dan derita semakin parah, kemiskinan kian bertambah.
Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Dasar 1945, secara jelas menyiratkan bahwa penguasaan perekonomian terkait hasil kekayaan alam harus berpatok kepada kepentingan bersama dan untuk kemakmuran rakyat yang berasaskan kepada keadilan.
Angin segar tentang Raperda tentang Pengelolaan SDA berbasis pemulihan lingkungan sebagai sebuah keharusan untuk segera di tetapkan dalam suatu daerah atau wilayah untuk dijadikan sebagai sebuah jawaban dengan semakin kompleksnya pesoalan-persoalan kekinian lingkungan dan hak-hak masyarakat tidak kunjung usai saat ini.
Bulan lalu, tepatnya tanggal 27 februari 2013, Gubernur Kalimantan Barat melalui wakilnya Gubernur Christiandy Sanjaya, dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi, Cornelis mengatakan:
“Hal-hal yang bersifat teknis terkait Rancangan Peraturan Daerah Tentang rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan sumber daya alam berbasis pemuliaan lingkungan akan dibahas bersama oleh panitia khusus yang dibentuk dan tim eksekutif secara lebih luas dan lebih mendalam pada tingkat-tingkat pembahasan lebih lanjut, sehingga perda-perda tersebut menjadi berkualitas dan bermamfaat bagi kemajuan daerah Kalimantan Barat”.
Selain raperda Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Pemulihan Lingkungan, juga disusun raperda lainnya, seperti; Penyelenggaraan Pelayanan kesehatan reproduksi, Pencegahan dan Penanggulangan Pornografi dan Pornoaksi, serta rancangan peraturan daerah tentang penyidik pegawai negeri sipil juga menjadi perhatian bersama, mengingat sama pentingnya jika melihat peran, fungsi dan acuan yang dapat dijadikan payung dalam masyarakat.
Besar harapan, inisiatif DPRD Provinsi Kalimantan Barat membuat Raperda terkait Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Pemulihan Lingkungan, mudah-mudahan dapat terwujud dan dapat dijadikan pedoman sebagai regulasi dan kejelasan bagi khalayak. Peraturan daerah menjadi penting dan sama halnya dengan pasal 33, mengingat pasal 33 memberikan gambaran tentang sebuah amanah dari UUD 1945 bagi rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Semoga….
By : Petrus Kanisius “Pit”- Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H