Terhimpitnya habitat sudah barang tentu akibat semakin meluasnya area atau lahan untuk perkebunan dan pertambangan serta pembangunan.
Selain itu, tingkat keterancaman habitat dan populasi satwa seperti orangutan, burung enggang, trenggiling, jenis-jenis burung dan satwa-satwa dilindungi lainnya akibat perburuan dan pemeliharaan serta masih lemahnya penanganan kasus-kasus terkait kejahatan terhadap satwa.
Tito P. Indrawan aktivis Yayasan Palung mengatakan, tidak cukup hanya mengatakan cinta puspa dan satwa. Harus ada kerja nyata untuk itu, sudah banyak satwa di Indonesia yang masuk dalam daftar satwa dilindungi, namun yang melindungi itu hanya peraturan saja bukan manusia Indonesia yang melindungi.
Sebagai contoh, pembunuhan enggang berlangsung begitu masif, perdagangan satwa langka masih marak, pemeliharaan satwa langka pun tak bisa dibilang sedikit jadi harus ada langkah dan gerak yang nyata dalam menunjukkan cinta kepada satwa dan puspa Indonesia.
Lebih lanjut, Tito mengatakan, yang belum ada sekarang adalah sinergisitas antar instansi dalam program-program konservasi.
Hutan, tumbuh-tumbuhan dan satwa merupakan satu kesatuan makluk hidup yang tidak dapat terpisahkan di bumi ini.
Sudah barang tentu satu kesatuan, langkah nyata menjadi prioritas utama, kepedulian manusia untuk bersama-sama menjaga dan melindungi serta melaksakan tindakan nyata menjadi suatu keharusan.
Selain itu, pelibatan semua pihak untuk menumbuhkan rasa cinta, peduli dan melindungi harus ada dan kesadaran untuk saling mendukung tetap terjaga dan lestarinya satwa dan lingkungan secara berkelanjutan.
Petrus Kanisius “Pit”- Yayasan Palung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H