Mohon tunggu...
Pirlo Luron
Pirlo Luron Mohon Tunggu... Penulis - Kuli Tinta

Menolak Lupa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melawan Atau Miskin

18 Januari 2025   16:56 Diperbarui: 18 Januari 2025   16:56 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahulu mulut penguasa melontarkan janji manis hingga aku terpaut padanya, akan tetapi yang kudapat tetaplah sama, yakni kelaparan. Bukankah negeri ini telah berubah? Aku yang hidup di era modern saat ini Era Revolusi 4.0 yang sering disebut juga sebagai generasi Z seakan masih berkelana di masa kolonialisme Belanda. Entah sampai kapan penderitaan ini akan berlalu?

Suara jangkrik perlahan-lahan menghilang hingga tak terdengar kan lagi, seakan dia telah mengerti dan mengetahui isi hatiku. Aku pun kembali membuka buku itu dan lanjut membacakan topik yang belum selesai dibacakan tadi.

Selang beberapa menit aku membaca buku itu, kini ngantuk yang datang mengganggu. Kali ini aku berusaha untuk menghilangkan rasa ngantuk itu sampai topik tersebut selesai dibacakan. Setelah itu aku pun bergegas menuju kamar tidur. Sembari Aku banting kan badanku di atas kasur yang empuk dan melepaskan semua kelelahan serta menutup mata lalu tidur.

Namun, lagi-lagi dalam ingatanku terlintas rasa cemas akan negeri ini. Rasa ngantuk yang sebelumnya memaksaku untuk beristirahat lalu tidur, kini hanyut dalam bayang-bayang negeriku. Ah, Tuhan kenapa aku begitu cemas?

Aku pun kembali bangun dari tempat tidurku dan menuju jendela kamar. Dari tempat itu aku melihat betapa indahnya rembulan malam yang seakan diselimuti oleh pelbagai bintang yang menghiasi langit. Tuhan betapa indahnya ciptaan-Mu. Sahutku dalam hati.

"Aku ingin seperti bintang-bintang itu yang tak mau berkuasa atas yang lainnya dan kekompakan serta kesatuan yang lebih diutamakan." Aku bosan mendengar jeritan saudara-saudariku setiap hari. Mereka selalu mengeluh akan pemimpin di negeri ini.

Ah, bukankah aku juga demikian? Percuma aku berorasi dalam batinku sendiri. Semuanya sia-sia belaka. Penguasa tetap berada dalam kekuasaannya.

Dari jendela itu juga aku melihat cahaya lentera di sela dinding rumah warga, yang sudah ada sejak zaman dahulu. Semuanya masih sama sejak saat negara ini dibentuk hingga kini, sedikit pun belum juga berubah. Tuhan akankah seperti ini terus nantinya? Tidakkah Engkau peduli dengan keadaan kami?

Lagi-lagi Tuhan dipersalahkan dan seolah-olah Tuhan yang menghendaki semuanya terjadi. Di manakah mereka yang selalu berteriak dengan mengucapkan janji tentang perubahan? Sudah puluhan tahun negeri ini merdeka, kami yang di pelosok belum begitu diperhatikan. Kapan kami harus merasakan penerangan seperti di kota-kota yang seakan tak ada malamnya? "Hidup...hidup... engkau sungguh-sungguh bukan diciptakan untuk menjadikan yang lain sebagai hamba, tetapi kau diciptakan untuk saling mengasihi satu sama lainnya." Lantas, siapakah yang harus dipersalahkan? Apakah aku, mereka atau kita semua?

Ah, aku yang harus dipersalahkan dalam hal ini. Aku terus berorasi dengan batinku sendiri dan tak kunjung mengungkapkan semuanya kepada mereka semua. Tak terasa jam dinding menuju pukul 21:10 malam. Aku dikagetkan oleh ibuku. Ia datang dengan kecemasan bertanya padaku: "Apa yang sedang engkau pikirkan anakku? Sudah tengah malam, tetapi engkau belum juga tidur."

Entahlah, bu. tegas ku dalam hati sambil menatap nya. Orang tuaku mana sibuk dengan urusan negara. Yang mereka pikirkan adalah bagaimana nasib anaknya nantinya. Mereka juga masih terbalut oleh pemikiran kuno yang penuh dengan penindasan. Di mana-mana penguasa selalu mengecam masyarakat kecil guna melaksanakan segala peraturan yang mereka utarakan. Hidup demokrasi belum begitu ditegaskan. Negara seakan milik sebagian orang saja. Masyarakat kecil selalu dimanipulasi oleh kaum penguasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun