Senja yang mulai beringsut,
tenggelam di matamu yang sayup,
melukis aksara dengan segala jingganya.
Indah, meski harus menepi....
Â
Di tempat yang sunyi,
aku menulis sebuah puisi,
tentang kita yang sedang berjuang,
tentang hidup yang tidak bisa ditebak.
Semuanya kutuangkan pada selembar kertas putih dengan coretan pena.
Â
Di kelopak matamu ada puisi.
Begitu dalam, aku takut
meluluhlantakkan puisi
yang mendiami kelopak matamu selama ini.
Sebab arti dari semua pandangan matamu,
bisa menghapus buih-buih kesedihan
yang bergantung di mataku.
Â
Puan, jika suatu saat nanti
puisiku bisa menyaingi puisi di kelopak matamu
 izinkan aku mengabadikannya
 dalam satu halaman buku.
 Menempatkan pada inti
 dari semua antologi puisiku.
Â
Reruntuhan rindu jatuh
dipungut waktu,
Kata demi kata ku tulis rapi
dalam rahim puisi.
Imajinasi meledak di kepala
Aku tidak rela
Rindu dipungut waktu.
Â
Lalu, aku mencoba untuk mengembalikannya,
mengubur dalam-dalam
agar rindu tidak tercecer kemana-mana.
Sebab bila hujan datang
rindu akan mengalir pada hati yang salah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI