Menuangkan ide jadi sebuah tulisan terkait maraknya koruptor yang mendapat "ampunan" di Negara tercinta, tentu tidak ada salahnya. Meski saya bukan pakar atau pengamat politik ulung.
Menurut pendapat saya, seorang koruptor itu sama dengan seekor monyet. Tahukan monyet, binatang mamalia yang termasuk ordo primata. Monyet itu menghuni hutan, seharusnya koruptor domisilinya di hutan, bukan di kota dengan memperkaya diri dan koleganya..
Kemiripan koruptor dengan monyet, yakni suka mengambil yang bukan haknya. Licik dan cerdas mencari cara untuk mendapatkan yang dia inginkan. Hidup mereka berkelompok dan saling melindungi, menghibur masyarakatnya di balik "topeng" untuk menyembunyikan niat sebenarnya---niat jahat.
Koruptor itu sama dengan moyet. Pernyataan ini menggambarkan koruptor sebagai makhluk yang tidak bertanggung jawab dan mencari keuntungan pribadi dengan cara tidak sah. Monyet sering diasosiasikan dengan perilaku yang tidak terkontrol dan mencari makanan dengan cara yang tidak tepat.
Mereka sama-sama serakah. Koruptor, suka memakan dan mengumpulkan barang-barang branded, berbagai cara akan ditempuh asalkan mendapatkan yang dia inginkan.
Monyet, suka merebut makanan sesama monyet, Â jika koruptor merampas milik orang lain di luar habitatnya. Selain tidak mau berbagi kebahagian, monyet dan koruptor sangat agresif ketika keselamatannya terancam. Apalagi yang terancam "harta"nya, ia akan menempuh segala cara untuk mempertahankannya. Â
Korupsi memang merupakan masalah serius yang merugikan masyarakat dan negara. Budaya korup akan memunculkan dampak buruk bagi pemerintahan, yakni merugikan keuangan negara. Menimbulkan distorsi pasar dan persaingan tidak seimbang.
Korupsi juga menambah jumlah pengangguran dan kemiskinan, sehingga negara ini sering berpenyakit. Dampaknya tidak hanya pada ekonomi, juga berdampak sosial, di antaranya kehilangan kepercayaan masyarakat. Menimbulkan ketidakadilan dan diskriminasi dan penderitaan bagi mereka yang membutuhkan layanan publik.
Kolutif sangat mengganggu kestabilan politik di negara yang memelihara koruptor. Berpengaruh negatif pada demokrasi. Kehilangan otoritas pemerintah.
Mengatasi Korupsi dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Membangun sistem pengawasan yang efektif. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dan mengimplementasikan hukum yang tegas.
Untuk membasmi korupsi, tidak semudah membunuh tikus beserta sarangnya, memerlukan pendekatan komprehensif dan berkelanjutan. Dibutuhkan edukasi dan kampanye anti-korupsi untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat. Berupa membangun lembaga-lembaga yang independen dan efektif, seperti KPK, Polisi, dan Jaksa.
Menerapkan prinsip transparansi dalam pengelolaan keuangan negara dan korporasi. Membangun sistem pengawasan internal dan eksternal untuk mendeteksi korupsi. Mengintegrasikan pendidikan anti-korupsi dalam kurikulum sekolah. Pertanyaannya, apakah pembasmian koruptor di Indonesia sudah efektif dan menimbulkan efek jera?.