Bapak-bapak tadi juga tidak nanya-nanya ada permasalahan apa, dia terus membawaku ke sebuah jalan, ketika itu masih gelap gulita dan berdebu, yakni jalan keluar dan masuk menuju desa Wareng Beran Ngawi.
Tanpa aba-aba, bapak tadi menamparku, untungnya bapak tadi tidak membunuhku, barangkali kasihan melihat anak-anak bertubuh kerempeng berkeliaran sendiri tanpa orang tua. Apa yang bisa aku lakukan, kecuali hanya plonga-plongo, bengong kayak sapi ompong, tanpa banyak omong. Malah bingung aku dibuatnya kala itu.
Merasa puas telah menampar anak-anak lugu yang bingung akan kelakuan bapak tadi. Dia pun pulang tanpa pesan, sayapun balik lagi pondok juga seakan tidak terjadi apa-apa.
Sejak peristiwa tadi, aku tak lagi menerima buku dari kawan perempuan, yang pernah beberapa kali kencan jalan kaki dan tak sepatah kata terucap, memang dasar lugu, diajaknya jalan ya jalan begitu saja, mau traktir juga tidak punya uang. Lah, bagaimana lagi, namanya juga anak sekolah, bukan pengusaha tambang atau pegawai negeri saat itu.
Sampai sekarang, kalau aku ke Ngawi juga tidak ada kabar sampai setua ini. Semoga kawan perempuan yang pernah bertukar buku diary kalau nggak salah ingat ya lupa to, namanya Ermawati Posende dan adiknya yang tak kalah catik dari kakaknya, putri dari seorang tentara bertugas di Yon Armed Ngawi. Entah dimana keberadaannya, semoga dia hidup bahagia, kaya rasa dan masuk surga. Amin.
Begitulah suramnya nostalgila, yang nggak jelas juntrungannya, jadian juga kagak, malah bikin sedih, marah, bahagia tertawa geli mengingatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H