Pahit manisnya ampas kopi kehidupan, secantik parasmu, menurutku cantikmu pantas untuk diperjuangkan, Manisnya hanya pelipur lara, Â lenyap dalam peraduan....
Pahit manisnya ampas kopi kehidupan, ibarat gerakan arus balik desentralisasi di suatu wilayah, sebab langkah ini merupakan ekspresi lempar batu sembunyi tangan, menyisakan pahitnya ampas kehidupan....
Tengok saja isi cangkir itu, labil dan cenderung goyah mengikuti irama noda pahitnya ampas kehidupan...
Gelas mungil kosong tiada daya ketika isinya terkuras sedari hangat-hangat kuku....
Entah siapa pemilik cantiknya parasmu, dimana auranya tahan lama hingga penghuni langit cemburu dibuatnya....
Sedari tadi mata rentaku tak berkedip menatap indahya binar bola matamu, sementara jari jemariku sedari tadi belum tuntas menuliskan kisah baiknya sang bidadari....
Tak berharap memelukmu setinggi puncak himalaya, apalah dayaku, rautku ternoda berita politik, berita sampah yang mengancam keberlanjutan lingkungan dengan segudang permasalahannya .....
Dan...
Aku terperanga, berkhayal menempati cantiknya relung hati sang bidadari...
Ah...tersadar, rupanya aku hanya berkutat pada tulisan semata, tak mampu menghapus masa lalu...
Ini benar-benar habis manis sepah dibuang yang patut dikoreksi kewarasanku menikmati ampas kopi kehidupan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H