Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Begini Kisah Perjuangan Seorang Ibu Merawat Anaknya yang ODE

8 November 2021   19:00 Diperbarui: 8 November 2021   19:03 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Begini kisah perjuangan seorang ibu hebat merawat anaknya yang dikenal dengan sebutan ODE".

Kisah nyata ini datang dari perjuangan seorang ibu hebat. Dikatakan hebat karena, sebut saja namanya Eka Suharwati, begitu sabar merawat anaknya yang Epilepsi biasa disebut Orang Dengan Epilepsi (ODE).

Setelah meminta ijin dari ibu Eka, gayung pun bersambut, ibu Eka dengan senang hati mengijinkan untuk dipublikasi dalam blog keroyakan kompasiana yang memasuki usianya ke 13 tahun ini.

Sebagai salah satu anggota komunitas KEI, saya mencoba menayangkan ke kanvas digital kompasiana yang jangkauannya lebih luas ini.

Berikut tulisan inspirasi milik ibu Eka Suharwati di medsos KEI. "Masih berjuang sejak November 2007 hingga kini November 2021, mulai dari 1 macam jenis obat, menjadi 14 macam obat hingga kini menjadi 1 jenis obat kembali, dari yang awalnya saat bayi tidak apa-apa hingga kejang hebat dan mengalami stroke, tics, koma, hilang all memori lalu kini kembali seperti semula," ungkapnya.

Tulisnya lagi, dan itu bukan hal yang mudah dijalani, sungguh, butuh proses yang amat panjang.

"Saya pun dulu selalu bertanya pada dokter, apakah anak saya bisa sembuh ga Dok ? Keluarga tidak ada yang epilepsi, kenapa anak saya bisa epilepsi Dok? Itu pertanyaan yang selalu saya tanyakan di awal-awal mengetahui anak saya di vonis epilepsi, apalagi saya dulu tinggal di desa, dan sangat awam tentang apa sakit epilepsi itu, ditambah hanya punya handphone jadul ga bisa untuk internetan, jauh dari orang tua serta sanak saudara, semakin lengkap sudah sedihnya perasaanku saat itu," urai Eka penuh tanya.

Lanjutnya, berawal dari bulan November 2007, 10 hari setelah campak tiba-tiba tengah malam anak saya demam, saat itu usianya 10 bulan, tak ada suami karena beliau dinas malam, jam 2.00 dini hari, saya teriak-teriak diteras meminta pertolongan tetangga sambil menggendong bayiku yang kejang dan sudah membiru, panik  takut kalau-kalau ia tiada, untunglah tetanggaku berdatangan dan kami di bawa ke RS, dokter bilang ga apa-apa bayi biasa kejang jika demam.

Ujarnya lagi, pada Desember 2007 anak saya kejang kembali padahal ia tidak demam, tapi ia tersedak makanan disaat saya menyuapinya.. lalu dokter menyarankan EEG dan alhasil ia divonis epilepsi.

"Menolak, tak percaya itulah yang saat itu saya alami, banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab dokter hingga akhirnya saya "pasrah" menerima semua itu sebagai "ujian" dan berusaha sebaik mungkin merawat si buah hati," tanya Eka.

"Bayi ku diberikan Dilantin oleh dokter spesialis anak, lalu di awal tahun 2009 saya berganti dokter ke spesialis dokter syaraf anak (beda RS). Dilantin dihentikan dan diganti dengan Trileptal dosis 0.5 ml, tapi karena hampir tiap bulan kejang, obat ditambah lagi dengan Depakene dosis 0.5 ml.. tapi tak ada hasil maksimal.. kejang terus berulang ga perduli pagi, siang, sore bahkan tengah malam.. lalu ditambah lagi dengan Topamax Sprinkle.

Entah, sudah berapa ratus kali anak ku kejang kata ibu Eka, sampai pada bulan Agustus 2015 kejang berulang-ulang dalam kurung waktu 1 jam, kejang sebanyak 14 kali, 1 detik sadar lalu bermenit- menit kejang, sepanjang perjalanan ke Rumah Sakit tak terhitung berapa kali kejang dipangkuan.

Hingga akhirnya ia dinyatakan koma, saat itulah 14 macam obat diberikan padanya, namun tak ada respon sama sekali, Lekosit saat itu 38.000 sampai akhirnya dokter "angkat tangan" dan mengatakan "maaf bu, jika sampai besuk pagi belum ada kemajuan terpaksa diambil sumsum tulang belakangnya".

"Inilah, titik dimana saya benar-benar pasrah, hingga terucap kata " Ya Allah jika Engkau mau mengambil anakku maka ambillah, tapi jika Engkau masih memberiku kesempatan untuk merawatnya, maka berikanlah keajaiban untuknya," ungkapnya haru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun