Ketika saya ikut Tim Medis waktu gempa Lombok, pengalaman itu saya peroleh. Ternyata, kuncinya adalah harus ada "figur utama" yang bisa mengambil peran kepemimpinan.
Dalam kondisi krisis, kualitas kepemimpinan seseorang diuji. Dan dalam situasi krisis pula, seseorang itu harus mengambil kebijakan dan langkah tidak biasa. Humas harus menjelaskan "ketidakbiasaan" itu. Jangan humas juga ikut berpikir biasa-biasa.
Saya kira, itu Humas jaman Old. Sekarang ini, reputasi itu adalah fakta itu sendiri. Kita tidak bisa lagi membangun reputasi A, jika faktanya X. Maka, jika ingin menjadi praktisi humas dewasa ini, kunci utamanya adalah "jangan pernah berbohong ke publik".
Sampaikan apa adanya, namun dengan bahasa dan medium yang tidak apa adanya.
Menjawab pertanyaan satu ini, Â soal penularan, ini benar-benar isu bersama kita. Mungkin inilah alasan pemerintah tidak memilih opsi lock down. Sebab opsi ini butuh kepatuhan publik, hal yang belum merata kita miliki.
Bahkan Ishaq Rahman bijak menuliskan, untuk pertanyaan kedua (soal melambungnya harga masker, sehingga membuatnya langka. Bahkan tak ayal melahirkan bisnis haram) ini sulit saya jawab.
Yang ketiga, begini, dalam dunia humas modern, semua orang pada suatu instansi seharusnya adalah Humas. Dalam diplomasi, semua warga negara Indonesia adalah diplomat.
Nah, perubahan ini yang harus diadopsi bersama. Jadi kita tidak lagi bersandar pada petugas Humas saja.
Menjawab pertanyaan terakhir, Ini soal komunikasi publik yang "lupa" dibangun sebelum. Â Situasi seperti ini menyebabkan humas itu jadi petugas pemadam api. Walaupun apinya padam, tetap saja melelahkan. Ini sebenarnya model lama.
Sebenarnya akan jauh lebih efisien jika sebelum kebakaran terjadi, apinya dicegah untuk menyala. Jadi langkah preventif dalam fungsi kehumasan itu penting.
Pada akhir sesi, Ishaq Rahman menegaskan, mudah-mudahan Covid-19 ini segera berlalu dan kita dapat bertemu dalam suasana yang berbeda.