Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

BRT di Sulsel Dikandangkan, Haltenya Berkarat dan Sekarat

24 Maret 2019   07:49 Diperbarui: 24 Maret 2019   15:31 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Halte kesepian, sekarat dan berkarat/dokpri)

Program transportasi umum berupa Bus Rapid Transit (BRT) di Sulawesi Selatan hanya pemborosan. Sama sekali tidak mengubah gaya berkendaraan masyarakatnya. Masyarakat lebih codong menggunakan jasa pete-pete, bentor, bahkan menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini mereka lakukan, lantaran keterbatasan armada BRT.

Sebaliknya, negara dirugikan. BRT dari Pemerintah Pusat sekarang ini hidup segan mati tak mau. Saat ini, halte dan fasilitas lain berupa rambu jalan sekadar pajangan. Padahal anggaranya tidak sedikit. Pelayanan BRT dan halte itu mandek, sehingga dampaknya, warga kota Makassar tidak dapat menikmati luasnya kabin BRT.

Di tahun pemilihan calon presiden dan pemilihan calon legislatif saat ini merupakan momen yang tepat bagi kontestan Pemilu untuk membuktikan janji-janji kampayenya.

Sebagaimana penglihatan saya, sejauh ini operasionalnya tertidur nyenyak di tengah hingar bingar MRT dan Kereta Api. Namun untuk Kota Makassar, gegap-gempitanya meredup tanpa titik temu antara kendaraan konvensional dan transportasi modern. Perlahan namun pasti ditinggalkan pelanggannya.

Program layanan transportasi berbasis BRT itu "terpaksa" dihentikan lantaran dianggap apa yang diberikan tidak bermanfaat maksimal. Padahal pihak Pemerintah Kota Makassar telah menggelontorkan anggaran tidak sedikit buat membangun halte, tempat pemberhentian BRT.

Sebagai pengguna BRT hanya mampu berharap kepada Pemerintah Kota Makassar, melalui Wali Kota untuk membangunkan kembali operasional BRT, agar masyarakat kalangan menengah kebawah menikmati keberdaan BRT lagi.

Jujur saja, dikandangkannya pengoperasian BRT lantaran tersendat biaya operasional, menyebabkan halte dan rambu berkarat dan sekarat. Selama ini ongkos BRT diperoleh dari retribusi penumpangnya, dan itu tidak mahal kok. sementara pemahaman masyarakat, menganggap BRT itu transportasi gratis.

(Rambu BRT/dokpri)
(Rambu BRT/dokpri)
Penghentian Operasional BRT
Wacana penghentian operasional BRT (Bus Rapid Transid) disebabkan Perum DAMRI Kota Makassar merugi, atas pertimbangan tadi terbersit niatan mengembalikan armadanya ke Jakarta.

Apabila niat ini terbukti, maka upaya Wali Kota Makassar menjadikan "Makassar Kota Dunia" adalah "kemunduran" buat tata kelola transportasi di kota Makassar, sekaligus berita duka bagi sebagian pengguna BRT.

Bisa dipastikan akan menambah kesemrawutan moda transportasi yang dipadati angkutan umum (pete-pete), taksi argometer, taksi berbasis aplikasi online. Para pemangku kepentingan harus segera bertindak mencarikan solusi anggaran operasional  kendaraan "raksasa" berwarna biru tersebut sebelum benar-benar gulung tikar.

Berhentinya armada BRT akan menambah polusi, berpengaruh signifikan terhadap infrastruktur yang menelang anggaran milyaran rupiah. Ini peluang bagus buat bakal calon kepala daerah yang akan bertarung di Pemilihan Kepala Daerah berani andil mengatasi kerugian operasional Perum DAMRI di Kota Makassar.

Bukan hanya satu atau dua orang saja yang kecewa, lebih dari pada itu, berkurangnya rute bahkan berhenti beroperasionalnya BRT di Kota Makassar. Berdampak besar buat kelancaran lalu lintas jalan raya.

Biaya pengeluaran akhir pekan bersama keluarga membengkak. Sementara pemasukan sangat minim. Contoh kecil, ketika menggunakan BRT menuju ke suatu pusat perbelanjaan hanya dikenai tarif Rp. 5000,- total pulang pergi hanya merogoh kocek sebesar Rp. 10.000,-.

Sebaliknya, ketika saya pergi mengendarai pete-pete dengan tujuan yang sama plus ngetem sembari mencari penumpang lain, biaya transportasinya membengkak tiga kali lipat. Dengan tujuan yang sama ongkos transportasi pulang pergi berkisar Rp. 30.000,- hingga Rp. 35.000, "sungguh super sekali".

Bus Rapid Transit (BRT) lebih bagus, aman, dan nyaman dari pada menggunakan transportasi umum konvensional (pete-pete). Kesabaran penumpang menunggu BRT yang datang menjadi kelemahan.

Maraknya kendaraan bermotor beraneka merek memadati jalan-jalan raya menambah kemacetan lalu lintas. Bukankah semakin tinggi kemacetan maka semakin tinggi pula angka kecelakaan. Kita semua pasti tidak menginginkan kemacetan, tetapi "sebenarnya kita sendirilah pecipta kemacetan."

Sejauh ini Makassar telah menghadirkan sebuah kendaraan berkabin luas, ditunjang ruangan ber AC. Nama kendaraan umum itu adalah Bus Rapid Transit (BRT).

Agar halte-halte yang terbangun di beberapa titik di Kota Makassar tidak sekarat dan berkarat. Ayo biasakan menggunakan transportasi BRT. Untuk mewujudkannya, tambah jumlah armada dengan jadwal keberangkatan yang tidak terlalu lama, bukankah lebih cepat, lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun