Program transportasi umum berupa Bus Rapid Transit (BRT) di Sulawesi Selatan hanya pemborosan. Sama sekali tidak mengubah gaya berkendaraan masyarakatnya. Masyarakat lebih codong menggunakan jasa pete-pete, bentor, bahkan menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini mereka lakukan, lantaran keterbatasan armada BRT.
Sebaliknya, negara dirugikan. BRT dari Pemerintah Pusat sekarang ini hidup segan mati tak mau. Saat ini, halte dan fasilitas lain berupa rambu jalan sekadar pajangan. Padahal anggaranya tidak sedikit. Pelayanan BRT dan halte itu mandek, sehingga dampaknya, warga kota Makassar tidak dapat menikmati luasnya kabin BRT.
Di tahun pemilihan calon presiden dan pemilihan calon legislatif saat ini merupakan momen yang tepat bagi kontestan Pemilu untuk membuktikan janji-janji kampayenya.
Sebagaimana penglihatan saya, sejauh ini operasionalnya tertidur nyenyak di tengah hingar bingar MRT dan Kereta Api. Namun untuk Kota Makassar, gegap-gempitanya meredup tanpa titik temu antara kendaraan konvensional dan transportasi modern. Perlahan namun pasti ditinggalkan pelanggannya.
Program layanan transportasi berbasis BRT itu "terpaksa" dihentikan lantaran dianggap apa yang diberikan tidak bermanfaat maksimal. Padahal pihak Pemerintah Kota Makassar telah menggelontorkan anggaran tidak sedikit buat membangun halte, tempat pemberhentian BRT.
Sebagai pengguna BRT hanya mampu berharap kepada Pemerintah Kota Makassar, melalui Wali Kota untuk membangunkan kembali operasional BRT, agar masyarakat kalangan menengah kebawah menikmati keberdaan BRT lagi.
Jujur saja, dikandangkannya pengoperasian BRT lantaran tersendat biaya operasional, menyebabkan halte dan rambu berkarat dan sekarat. Selama ini ongkos BRT diperoleh dari retribusi penumpangnya, dan itu tidak mahal kok. sementara pemahaman masyarakat, menganggap BRT itu transportasi gratis.
Wacana penghentian operasional BRT (Bus Rapid Transid) disebabkan Perum DAMRI Kota Makassar merugi, atas pertimbangan tadi terbersit niatan mengembalikan armadanya ke Jakarta.
Apabila niat ini terbukti, maka upaya Wali Kota Makassar menjadikan "Makassar Kota Dunia" adalah "kemunduran" buat tata kelola transportasi di kota Makassar, sekaligus berita duka bagi sebagian pengguna BRT.
Bisa dipastikan akan menambah kesemrawutan moda transportasi yang dipadati angkutan umum (pete-pete), taksi argometer, taksi berbasis aplikasi online. Para pemangku kepentingan harus segera bertindak mencarikan solusi anggaran operasional  kendaraan "raksasa" berwarna biru tersebut sebelum benar-benar gulung tikar.
Berhentinya armada BRT akan menambah polusi, berpengaruh signifikan terhadap infrastruktur yang menelang anggaran milyaran rupiah. Ini peluang bagus buat bakal calon kepala daerah yang akan bertarung di Pemilihan Kepala Daerah berani andil mengatasi kerugian operasional Perum DAMRI di Kota Makassar.