Lagi-lagi teman saya mengirim ulasan terbilang cukup menarik dipublikasikan di kompasiana blog keroyokan milik kompas gramedia ini.
Berikut cerita unik dari teman saya. Larut malam ditemani segelas kopi Toraja hitam pekat menambah rasa kepekatan malam kian meneggelamkan rasa manisnya Kue tradisional Putu Menangis.
Dahulu putu menangis ini mudah kita dapatkan di setiap lorong kota Makassar di era 70-90 an, namun di zaman revolusi industri 4.0 berbasis teknologi ini untuk menikmati kudapan tradisional putu menangis begitu susah. Kue ini hanya dijual di malam hari, penjualnya menggunakan transportasi konvensional berupa sepeda onthel.
Beruntung, malam itu penjual kue putu ini melintas di depan rumahku, begitu mendengar jeritan memekikkan telinga bergegas saya menghampiri dan memesannya. Selasa (19/3/2019).
Kenangan indah Itu tentu tak akan kembali, roda jaman terus berputar ke depan hingga sekarang ini Si penjual kue Putu yang bersahabat dengan pelita beralih ke lampu LED agar nampak kekinian, namun secara tidak langsung menghilangkan khas penjual putu.Â
Alasan lain beralih menggunakan lampu LED disebabkan lenyapnya minyak tanah dari peredaran, keberadaan minyak tanah tadi tergantikan si tabung hijau ukuran 3 kilogram, alias gas LPG. Satu ciri khas yang setia dipakai penjual putu menangis rejeki, yaitu Sepeda Onthel.
Transportasi yang pernah berjaya di eranya ini, dahulu begitu di elu-elukan fungsinya, namun seiring perubahan peradaban lambat laun kendaraan yang bebas asap timbal ini tergerus kendaraan bermesin menimbulkan timbal hingga polusi udara tetap berjaya mengangkasa.Â
Tak dipungkiri inilah zaman perdagangan bebas yang menjadi praktek umum dibawah regulator asing telah banyak memberi keuntungan. Namun, isu keadilan dan keberlanjutan pedagang keliling seperti putu menangis ini menuntut sejumlah koreksi.
Bahan alami lain sebagai cetakan putu ini tetap ramah lingkungan memakai ruas bambu, parutan kelapa sebagai topping dan baluran campuran tepung beras, tepung jagung, daun pandan berisi gula merah, selanjutnya di kukus diatas kotak seng yang telah dibuat khusus menjadi kompor serta tabung gas, dimana pada jaman dahulu masih memakai minyak tanah.
Kontur tekstur kue putu menangis bebas bahan kimia ini pun dipotong demi sepotong lalu di buka kue tersebut untuk mengurangi rasa panasnya sebelum dilumat.
Bukannya apa, kue seusai dimasak tentu menimbulkan panas luar biasa, jelang beberapa menit barulah kelezatan putu menangis bisa dinikmati, tanpa harus menangis.
Sesekali jajanan satu ini bisa kita temukan, asa lama akan kerinduan masa kecil terobati oleh kudapan murah meriah berbahan alami ini.
Menyantap kue putu menangis di malam hari yang tenang itu bukan sekedar memakannya, lalu buang bungkusnya sembarangan. Tetapi apa yang dicapai pejual putu menangis, mengais rejeki halal tanpa mengemis.Â
Hal ini yang disampaikan penjualnya betapa kue ini dulu begitu digandrungi kalangan menengah kebawah sebelum tergantikan kudapan-kudapan asing, sehingga kue-kue tradisional ini terasing di negeri sendiri.
Untuk urusan teknologi informasi pejual kue putu menangis ini tidak mau kalah dengan investor ataupun ASN. Dapat dihubungi via WhatsApp/0895-8004-43666 dengan gigih mengais rejeki bersama nyanyian krik...krik ..krik... Si Jangkrik, bersahutan kritiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H