Aqila (sumber gambar: kumparan.com)
Kemerdekaan Republik Indonesia memasuki usia terbilang tak lagi muda. Rentanya usia Indonesia rupanya menyisahkan kisah pilu dialami bayi lima tahun bernama Aqilla. Pasalnya, Aqilla menghembuskan nafas ditangan ayah tirinya sendiri.
Bayi Aqilla kerap disiksa  ayah tirinya. Status sebagai ayah atau ibu tiri atau pun orang tua kandung mustahil melakukan perbuatan keji tersebut apabila tidak ada sebabnya. Apalah arti sebuah status.
Tidak ada asap, apabila tidak ada api. Begitulah kisah pilu masa kecil Aqila, balita perempuan berumur dua tahun itu dianiaya hingga koma oleh ayah tirinya, Adrianus Sayow (26).
Tubuh mungilnya saat ini sedang dirawat secara intensif di RS Koja, Jakarta Utara, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya lantaran tak sanggup lagi menahan sakitnya siksaan ayah tirinya.
Bayangkan saja, di tengah gegap gempitanya pesta Kemerdekaan ke-73 Republik Indonesia, Aqilla justru harus terbujur di rumah sakit.
Tetapi entah bagaimana keceriaan itu tak terdapat dalam keseharian Aqila. Ia terkungkung dalam tindak kekerasan dari orang terdekat yang seharusnya merawat, menjaga dan "memerdekakan" bermain dengan teman sebayanya.
Aqila hanya mengisi hari-harinya "terpasung" dalam kamar berukuran sempit untuk menenui ajal di tangan ayah tiri. Rasanya sungguh keparat.
Tentu banyak orang enggan bertanggungjawab atas permasalahan kaum marjinal, lain halnya bagi mereka yang berkantong tebal. Mengapa? Dugaan saya, karena mereka mampu membayar pengacara untuk menyelesaikan persoalan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Anak bukanlah boneka mainan yang bisa dipukul, ditonjok atau diperlakukan sesuka hati orang dewasa, khususnya orang terdekatnya.
Sebuah keanehan mental yang membahayakan nyawa anak kecil dan jika hal ini dibiarkan terjadi dapat membuat kondisi rumah tangga seperti neraka.