Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sambung Rasa, Sesama Kompasianer Bertemu di Jogjakarta

29 Juli 2018   17:48 Diperbarui: 29 Juli 2018   18:22 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sambung Rasa Sesama Kompasianer Bertemu di Jogjakarta (dokpri)

Tanggal 23 Juli 2018 kami berangkat dari Ngawi menuju D.I. Yogjakarta demi memenuhi nazar kepada dua anak saya. Pukul 14.00 WIB siang kami memasuki wilayah Ngayogjokarto, lebih tepatnya turun di terminal Giwangan. Sejenak istirahat di terminal untuk menghilangkan penat sekalian makan siang.

Cerita sebelumnya, ketika turun dari bus jurusan Ngawi-Solo-Jogjakarta, dari Ngawi menuju Solo naik bus Eka. Sebelum memasuki Terminal Solo. Kondektur Bus Eka mengalihkan penumpang jurusan Jogjakarta menggunakan armada bus Mira yang memang satu perusahaan ini.

Singkat cerita, sesampainya di Terminal Giwangan, kami bergegas menuju toilet "UMUM" buat membuang air kecil. Ternyata tulisan Toilet "UMUM" dikenai biaya Rp. 2000, mandi Rp. 5000, kami pun membayar sesuai tarif.

Menurut pendapat saya, yang namanya UMUM itu bukankan tidak dipungut biaya alias Gratis. Akan lebih pas tulisan tersebut dihapus lalu diganti menjadi Toilet pribadi digunakan secara umum dan dikenai biaya. Urusan tarif terserah yang punya Toilet.

Terkait Umum tadi, setelah makan siang, bekal dari orang tua. Tak lupa kami minum air mineral kemasan dalam gelas, sisanya saya gunakan untuk cuci tangan sedikit dengan memanfaatkan lantai toilet, maksudnya agar lantai terminal Giwangan tidak basah. Ehh..saya malah mendapat perlakuan kurang simpatik dari penjaga penjara, eh salah tulis penjaga Toilet "UMUM".

"Cuci tangan bayar!" Kata salah satu penjaga Toilet Umum lirih kepada temannya. Tak saya hiraukan gertakan mereka, saya pun sempatkan mencuci tangan menggunakan sisa air minum kemasan dalam gelas. Akhirnya, urung saya cuci tangan dan memilih mencuci di jalur kedatangan bus yang lebih ramah terhadap penumpang yang datang ke Yogjakarta.

Dalam hati berkata, "masa, cuci tangan pake air kemasan dilantai saja harus bayar."

Kenyamanan kami sebagai wisatawan lokal kembali terusik akibat ulah beberapa jasa ojek terminal Giwangan, menjajakan jasa dengan sedikit memaksa. Pertama kami ditanya mau kemana, kami menjawab mau ke Jalan Dagen ingin bermalam di Hotel Salak 4. Kedua, sambil setengah memaksa jasa ojek ini menganjurkan ke tempat lain. Sebab katanya Dagen itu dekat Sarkem (Pasar Kembang), terus urusan saya dengan Sarkem apa? Kok bawa-bawa nama Pasar Kembang. Ini yang membuat saya sedikit emosi terhadap bapak-bapak jasa ojek tadi.  

Justru cara itu tidak mereka lakukan kepada wisatawan asing. Hal tersebut bisa dimaklumi karena orang asing ini menguntungkan Indonesia, khususnya D.I. Yogjakarta. Selain harga tinggi, pada waktu itu tidak nampak petugas resmi terminal menghampiri kami buat dimintai data dan informasi tempat penginapan.

Saking kesalnya, kami menolak dan lebih memilih naik trans Jogja yang memiliki pegawai luar biasa ramah, juga menjelaskan rute-rute perjalanan trans Jogja secara gamblang, tidak asal njeplak (asal bunyi). Tak butuh waktu lama, tibalah kami di halte Dagen.

Ujian kembali datang, tat kala turun dari bus trans kota Jogjakarta. Kami memilih Trans lantaran tarifnya sangat murah banget. Bayangkan, hanya mengeluarkan biaya Rp. 3.500 (tiga ribu lima ratus rupiah) sudah mengelilingi nyaris seluruh kota Jogjakarta. Pertama kali kami memilih jurusan Jl. Dagen, harapannya tidak terlalu jauh dari Malioboro. Tak berselang lama, kami turun di halte bus Jl. Dagen. Sekonyong-konyong koder datang pengemudi becak menawarkan jasanya.

Disitulah terjadi tawar-menawar harga, lantaran kelelahan menempuh perjalanan jauh dari Ngawi-Jogja terjadilah persetujuan tarif harga. Sembari menawar harga, kami memilih Hotel Salak 4. Pengayuh becak itu pun malah menawarkan penginapan lain yang menurutnya lebih dekat. Dasar, baru pertama cuti ke Jogja, saya menyetujui ajakan bapak penarik becak ini. "penginapannya dekat, dibelakang Malioboro", tutur pengayuh becak tadi kepada kami.

Singkat cerita tibalah dipenginapan rujukan pengayuh becak tadi. Memang, lokasi Losmen tersebut di belakang Malioboro, lebih tepatnya di jalan Sosrowijayan. Keterkejutan kami diuji, setelah melihat langsung kamar yang disediakan pengelola Losmen, selain bangunannya tua, kamar tersebut pengap dan kurang terawat. Selain hal itu, dengan uang saku pas-pasan, bagi kami harga tarif kamar per malamnya terbilang cukup mahal.

Tarif kamar permalamnya Rp. 125.000,- (seratus dua puluh lima ribu rupiah), karena bertiga dalam satu kamar, dikenai tambahan Rp. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah). Total tarifnya Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah). Dalam hati membatin, "wah, kena tipu ini." Begitu pun anak saya, sangat kecewa akan suasana kamar yang terkesan kumuh ini.

Kelelahan mengharuskan kami bermalam satu malam di Losmen Anugrah tersebut, sekalian mengusir rasa lelah. Mata pun tak bisa mengatup meski rasa lelah menghinggapi sekujur tubuh renta ini. Ketika rebahan di tempat tidur, tiba-tiba teringat nomor kontak salah satu kompasiners yang berdomisili di Yogjakarta, yaitu pak Sulistyo. Tak butuh waktu lama, saya menghubungi beliau dan buat janjian mencari penginapan lain, tentu murah dan bersih.

Sebelum pindah penginapan, kami mencari sarapan sekaligus penasaran akan keberadaan Hotel Salak 4 yang ternyata kondisinya lebih layak ketimbang Losmen rujukan pengayuh becak tadi. Rupanya lokasinya bersebelahan dengan tempat kami menginap.

dokpri
dokpri
Hotel Salak 4 Jogja

Berkat sambung rasa sesama kompasianer terjalin begitu akrab di dunia maya, akhirnya kami bertemu di dunia nyata. Pertemuan saya dengan pak Sulistyo memang baru pertama, akan tetapi rasanya seperti keluarga sendiri.

Pertama kali bersalaman melihat perawakannya begitu bersahaja, ramah, rendah hati, responsif membuat saya kagum dan beliau pun suka rela membantu kami bertiga mencarikan penginapan, andai sendirian besar kemungkinan bermalam di rumahnya pak Sulistyo. Lantaran bertiga, kami memilih mencari penginapan terdekat.

Dasar rejeki anak soleh, penginapan/Home Stay yang dimaksud lokasinya tidak jauh dari rumah pak Sulistyo. Setelah melihat sendiri, anak-anak pun merasa cocok, akan suasana home stay "Dipo71" tepatnya di Jl. Pangeran Diponegoro Jogjakarja, suasana tenang, kamarnya bersih, strategis dan harganya ramah di kantong. Disitulah kami menghabiskan waktu hingga kembali pulang ke Makassar pada Juma'at 27 Juli 2018.

Tidak hanya bersilaturahim dengan pak Sulistyo dan keluarganya, saya juga bertemu kompasianer pak Joko Martono (JM). Sosoknya pun akrab, penuh canda juga banyak memberikan inspirasi akan dunia tulis menulis. Yang jelas bagi penulis amatiran seperti saya, berintraksi dengan kompasianer senior seperti pak Sulistyo dan pak JM telah memberikan nilai plus.

Terimakasih atas bantuan pak Sulistyo dan keluarga selama kami "berlibur" di kota Gudeg ini. Meski singkat, tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada pak JM yang telah banyak memberi wawasan baru.

Semoga kompasiana konsisten pada khitohnya dan selalu menjadi media "sharing and connecting" yang sekarang bertransformasi menjadi "beyond blogging" meminjam tulisan pak JM.

Makassar, 29 Juli 2018

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun