Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Politik Dorong Mobil dan Politik Hantu

7 Juli 2018   18:34 Diperbarui: 7 Juli 2018   18:51 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik bantu dorong mobil mogok tentu terdengar aneh ditelinga orang Indonesia, khususnya orang awam politik seperti saya ini. Baik, dari kacamata awam politik dorong mobil mogok, ia ibarat mencalonkan diri sebagai pimpinan daerah diusung oleh beberapa partai politik, mendorong kandidat memenangkan pemilihan  kepala daerah setempat. Tidak tanggung-tanggung, nyaris seluruh partai mendorongnya untuk bertarung di pemilihan umum, yang konon katanya berlangsung jujur, adil dan transparan.  

Berbondong-bondong mendorongnya untuk suksesnya mengkampayekan visi misi mengumpulkan simpatisan guna mempermudah jalannya figur yang diusung memenangkan pemilihan suara, melalui cara mendorong mobil mogok tersebut.

Politik dorong mobil ini lama dipraktekkan di tanah air, namun demikian perjuangan para pendorong mobil mogok ini patut diajungi jempol. Saat melihat seorang kandidatnya mogok di di pertengahan jalan. Hal ini terjadi lantaran partai pengusungnya kehabisan dana. Sebagai figur yang dicalonkan ini seharusnya langsung merespon, mengapa banyak partai membantu mendorongnya.

Para penganut politik mendorong mobil mogok di tengah jalan, saat menggelar kampanye di jalan umum. Setidaknya memiliki integritas, kapasitas yang baik. Ini jangan dianggap sepele, sebaliknya dengan memiliki integritas dan kapasitas mumpuni akan meningkatkan elektabilitas terhadap mulusnya laju kendaraan yang ditumpanginya.

Masyarakat jaman sekarang cerdas dan cermat melihat calon pemimpinnya, bahkan pemberi harapan palsu (PHP) jaman sekarang tidak laku lagi. Berbeda dibeberapa daerah diperkampungan. Pemilik kendaraan akan memberi "pelicin" dan keperluan kampanye lainnya lalu bergegas turun dari atas mobil partainya, kemudian turut mendorong mobil yang ditumpanginya berbenah ditepi jalan. 

Aksi ini guna mendapat pujian partai pengusungnya agar mobilnya sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Langkah kecil turut menaruh simpati dari para pendorong kandidatnya menuju puncak karena ikut mendorong mobilnya secara suka rela.

Tidak sedikit kandidat yang diusungnya begitu menggapai tujuan, melupakan cucuran keringat para pendorong mobil yang mogok tadi. Bodohnya, begitu dilupakan bukannya marah atau mengumpatnya. Entah dimana letak kesalahannya.

Bahkan aksi pendorong mobil mogok  ini rela turun ke jalalan ala barbarian, sebagai bentuk Quick respon atau respon cepat atas kekalahan figur yang diusungnya. Padahal kita tahu kader tersebut sudah terperosok dalam jurang terdalam, masih saja dibela mati-matian, memangnya kandidatmu itu akan melirikmu sebagai pejabat apabila menang di pemilihan umum. Kerap kali terjadi kejadian seperti ini, bekerja tanpa pamrih merupakan pedoman setiap para politik pendorong mobil mogok.

Ada penganut pendorong mobil mogok tentu ada penganut politik hantu. Politik hantu ini bentuk gerakan gerilya yang tak kasat mata. Manuvernya tak terendus hidung manusia, tak terlihat mata manusia dan tak terdengar kiprahnya. Lucunya, gerakan hantu menjadi pesan bahwa tanpa mesin kendaraan politik dengan kekuatan kapitalis justru mampu menggulingkan calon tunggal.

Dua penganut politik ini menimbulkan sejumlah fenomena yang turut mewarnai Pilkada 2018. Diantaranya adalah unggulnya kotak kosong (bentuk dari penganut politik hantu) atas calon tunggal (penganut politik dorong mobil mogok) dalam Pemilihan walikota dan wakil walikota Makassar. Awalnya pilwalkot Makassar akan diikuti oleh 2 pasangan calon yaitu pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika (Appi-Cicu) bernomor urut 1 dan pasangan Danny Pomanto-Indira Mulyasari (DIA) nomor urut 2.

Namun pasangan Appi-Cicu akhirnya menjadi calon tunggal, setelah Danny Pomanto dan pasangannya didiskualifikasi. Berdasarkan hasil hitung cepat Celebes Research Center, kotak kosong unggul dengan perolehan suara 53,49%, diatas pasangan Appi-Cicu yang memperoleh 46,51% suara.

Fenomena lainnya adalah terpilihnya dua orang calon kepala daerah yang berstatus tersangka kasus korupsi. Salah satunya bahkan kini tengah ditahan KPK. Bagaimana kita mengambil pelajaran dari fenomena pilkada ini, untuk perkembangan demokrasi ke depan?

Kemenangan kotak kosong, selain pendukung DP, tentu ada pendukung lain yang ikut menggerakkan opini untuk memilih kotak kosong, karena dengan kemenangan kotak kosong, berarti semua dapat mengusung calon-calonnya pada 2020, termasuk semua Partai politik, maupun Independen.

Terserah anda mau menganut politik dorong mobil mogok, apa memilih menganut politik hantu. Asal jangan menganut politik kentut, pasalnya politikus seperti ini plintat-plintut, tidak bisa dipercaya pangkal ujungnya.

Makassar, 7 Juli 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun