Tidak Bisa Dipercaya, Guru Ngaji Cabuli 14 Santriwati
Berita di Detiknews ini cukup menyita perhatian para pembacanya. Dimana fenomena kekerasan seksual terhadap anak terulang kembali. Jenis kriminal ini sering terjadi dilatar belakangi oleh kedekatan pelaku terhadap korban dalam kehidupan bermasyarakat, dimana dalam masyarakat itu sendiri pelaku utamanya adalah orang terdekat seperti tetangga, guru, paman, atau seseorang yang mengenal betul calon mangsanya demi memenuhi kebutuhan seksualnya.
Maraknya kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya anak-anak memang cukup mengundang kemirisan, disini faktor tumbuh kembang psikologis anak dipertaruhkan. Tidak bisa dipercaya, sebanyak empat belas santriwati telah menjadi korban pelecehan seksual guru ngaji. Pelakunya bernama Nur Yasin (57) asal Dusun Ngarengan, Desa Jenggrik Kecamatan Kedunggalar Ngawi Jawa Timur tidak lain adalah guru mereka mengaji.
Atas pemberitaan ini, sontak dunia pendidikan kembali tercoreng. Pelaku diciduk Polisi karena dituding mencabuli empat belas santri, Rabu 13/9/2017. Pelaku menyasar anak-anak usia Sekolah Dasar. Modusnya, saat mengaji santriwati dipanggil satu persatu dan saat berada disampingnya, tangan pelaku liar menggerayangi kemaluan para korban. Petaka itu berawal saat belajar mengaji sejak Mei 2017.
Entah setan apa yang menaungi guru ngaji ini, bukan mengajarkan kebaikan malah mencabuli siswinya. Akibat perbuatannya, beberapa anak-anak mengalami infeksi pada selaput daranya. Pelaku diamankan pihak Polisi Resort Ngawi dengan ancaman 15 tahun penjara.
Penampilan memang selalu menyilaukan mata, yang dilihat baik tidak selalu benar, dan benar tidak selalu baik, dengan tafsiran dan penjelasan berbeda dengan sudut pandang serta latarbelakang keilmuan mana yang digunakan guru ngaji dalam menularkan ilmunya kepada empat belas santriwatinya. Bukankah GURU digugu lan ditiru (didengar dan diikuti), patutkah guru atau uztad ini menjadi panutan?
Namun ketika berbicara kebutuhan biologis, manusia tidak bisa dipersalahkan begitu saja. Pada dasarnya manusia tercipta memiliki hawa nafsu, tergantung individunya dalam mendapatkan hak nafkah biologis dari pasangan suami istri. Jangankan terikat janji suci pernikahan, jaman canggih sekarang ini baru pacaran saja sudah terlibat pergaulan bebas, bahkab berhubungan intim layaknya suami-istri.
Masalahnya, stigma negatif di desa bahwa seksual terjadi karena kesalahan korban, semisal cara berpakaian, postur tubuh. Ada anggapan bahwa orang tua tidak bisa mendidik anak dengan baik. Kecenderungan inilah yang membuat banyak perempuan (anak-anak) korban kekerasan seksual enggan melaporkan perisiwa yang dialaminya. Karena itu orang lebih condong menyoroti korban dari pada mempertanyakan tindakan kriminal pelaku.
Makassar, 17 September 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H