Tolak Transportasi Online, Perbaiki Dulu Layanan Transportasi Konvensional (sumber gamabr: http://online24jam.com)
Ketika suatu daerah disesaki aspirasi moda transportasi umum berbasis konvensional, menolak kehadiran transportasi berbasis daring atau online, berarti daerah tersebut akan terus tertinggal dalam urusan transportasi umum berbasis online.
Pesatnya kemajuan di daerah Kabupaten/Kota, Provinsi bukan hanya menterengnya bangunan sebuah gedung, akan tetapi kemajuan transportasi moderen merupakan tolok ukur majunya daerah tersebut. Terlepas dari urusan perut, penumpang sekarang membutuhkan moda transportasi umum dengan pelayanan yang ramah, aman, nyaman, sejuk, cepat dan sampai depan pintu tempat tujuan. Terjangkaunya harga tarif bukan masalah, asal on time sampai tempat tujuan pasti di lirik banyak orang.
Contoh kasus, saya suatu ketika naik pete-pete atau angkutan umum dengan jarak tidak terlalu jauh berjarak 2 kilometer, tarif 4 ribu rupiah, tetapi sopirnya ugal-ugalan tanpa memikirkan keselamatan penumpang, celakanya membawa angkutan umum sambil merokok tanpa mengindahkan kesehatan penumpang, dan tiba-tiba berhenti semaunya lantaran ingin membeli segelas air minum dan satu tusuk bakso. Dengan santai sopir makan bakso di tepi jalan sampai habis, melupakan bahwa masih ada penumpang didalam angkotnya. Apa penumpang tidak kesal melihat perilaku sopir angkutan umum tidak ramah. Akan marah kalau ditegur penumpang, jadi wajar apabila banyak yang beralih ke taksi online atau Bus Rapid Transportations (BRT).
Terkait kurang ramahnya pelayanan moda transportasi umum konvensional. Di Kota Makassar berlangsung aksi demonstrasi yang dilakukan pengendara becak motor (bentor) sebelumnya juga terjadi aksi serupa dilakukan sopir angkutan umum/pete-pete  sebagai bentuk penolakan terhadap kendaraan berbasis online di Fly Over, Jalan Urip Sumoharjo, Senin (28/8/2017).
Aksi tersebut terjadi akibat merasa tersaingi akan kehadiran kendaraan umum berbasis online. Karena tidak adanya solusi yang diberikan pemerintah Kota Makassar mereka turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi.
Menurut saya, aksi tersebut tidak perlu terjadi apabila pengemudi bentor dan pete-pete tidak memainkan harga  terhadap penumpang, memainkan tarif seenaknya tanpa regulasi jelas apalagi jarak yang agak jauh, misal jarak 5 kilomenter dibanderol 50 ribu rupiah, sementara taksi online dengan jarak yang sama, hanya bertarif 30 ribu rupiah yang harganya sudah tercantum di aplikasi playstore. Jangan salahkan Pemerintah kalau masyarakat memilih tarif yang jelas dengan pelayanan istimewa.
Untuk membangun masa depan yang lebih baik, kita harus berhenti melakukan hal-hal konyol yang tidak produktif dimasa lalu. Bagi saya pemandangan aspirasi pengemudi bentor hanya akan menimbulkan ketakukan dan keraguan, kalau kita terlalu repot mencari kesalahan transportasi moderen berbasis online yang manusiawi kita akan kehilangan waktu, energi juga rejeki untuk mencari solusi bagi masa depan.
Mencari-cari sebab-sebab kesalahan masa lalu juga dapat membuat kita pesimis dan hanya mencari kambing hitam untuk mencurahkan kesalahan. Begitu mereka kehilangan keyakinan untuk mengatasi krisis kepercayaan pengguna transportasi umum, maka akan selalu berkutat pada peruntungan semata tanpa mempedulikan peningkatan pelayanan. Selalu merasa tersaingi atas keberadaan tranportasi online. Pertanyaannya, dimana keberadaan Smart pete-pete yang diluncurkan Pemerintah Kota Makassar? Kok tidak lagi terdengar gaungnya. Sebelum menolak keberadaan transportasi berbasis online, perbaiki dulu pelayanan transportasi konvensional atau jadul.
Makassar, 29 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H