Penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan merupakan tindakan pengecut. Hanya pecundang yang mampu melakukan perbuatan konyol itu. Tidak berani bertatap muka menyuruh orang lain melakukan hal bodoh yang belum tentu pelakunya tahu permasalahan sesungguhnya. Lempar batu sembunyi tangan lebih pantas disematkan kepadanya, boleh juga dikatakan pahlawan tetapi pahlawan kesiangan. Alangkah kacaunya keamanan negeri ini.
Lantas dimana letak kekuasaan lembaga independen KPK bentukan Presiden tersebut. Orang yang ingin membongkar kebusukan koruptor kakap justru mendapat intimidasi dari mereka yang tidak ingin terbongkar kini identitasnya belum diketahui, keberadaan pelakunya hingga saat ini masih kabur, lenyap bak ditelan bumi. Atau memang beginikah hukum negeri ini? Apakah kecil kemungkinannya ada sangkut pautnya dengan pelaksanaan Pemilihan Gubernur DKI 1, entahlah yang jelas saya tidak ingin beropini terlalu menyimpang, biarlah dalang dan pelakunya yang tahu perbuatan pecundang itu.
Konon beritanya teror tersebut terjadi di pagi ini atau waktu subuh pada 11 April 2017, usai menunaikan shalat subuh. Novel Baswedan, merupakan penyidik senior KPK menjadi korban penyiraman air keras ke wajahnya. Kedua matanya mengalami luka, dan para pelaku melarikan diri. Hal ini tentu merusak perdamaian, keamanan,, kemanusiaan dan kebudayaan kita sebagai bangsa yang besar. Sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum telah dilecehkan oleh teror tengik seperti ini.
Ini bukan pertama kali Novel diserang. Sebelumnya ia pernah ditabrak mobil ketika naik motor, dan dikriminalisasi saat menyelidiki kasus simulator SIM. Menurut keluarga dan kerabat Novel, serangan ini adalah kelanjutan upaya mengintimidasi Novel agar menghentikan langkah-langkahnya membongkar kasus-kasus korupsi kakap yang melibatkan pejabat-pejabat hebat negeri ini.
Rakyat menyaksikan terus keberanian dan komitmen Novel melawan korupsi begitu luar bisa. Berkali-kali diintimidasi, dikriminalisasi, diserang, namun ia tetap konsekuen, profesional, dan pantang mundur dalam pekerjaannya. Sayangnya, negara terus gagal melindungi pejabat negaranya. Tindakan ini bukan sesuatu yang biasa melainkan luar biasa. Sebagai tindakan luar biasa, tentu ada aktor intelektual dibalik skenario pelaku di lapangan dan aba-aba dari komando. Hal ini patut dicurigai ada kepentingan besar. Novel Baswedan yang juga saudara dari Calon Gubernur DKI Anis Baswedan dalam jabatannya orang paling diintai penjahat dianggap mengancam kepentingan besar tersebut.
Bagaimana negara bereaksi terhadap kasus ini, bisa menentukan masa depan perlawanan korupsi di Indonesia. Apa kita akan kalah oleh intimidasi dan kekerasan penjahat, koruptor? Atau akankah kita tegakkan keadilan, dan lindungi pahlawan-pahlawan kita?
Kerahkan seluruh anggota kepolisian profesional dibidangnya untuk mengusut tuntas kasus luar biasa ini pak Kapolri. Kami mengajak semua teman-teman untuk berdiri disamping Novel, meminta Kapolri Tito Karnavian mengambil langkah cepat untuk menangkap pelaku dan menemukan dalang yang bersembunyi di balik serangan teror penyiraman air keras.
Jika aparat tidak segera mengusut kasus ini, rakyat khawatir akan menjadi preseden buruk dalam kehidupan berbngsa dan bernegara, sebab besar kemungkinan perbuatan serupa akan kembali terulang untuk melemahkan pejabat negara khususnya KPK dengan segala kehidupannya. Kami juga meminta Presiden Joko Widodo, mengambil sikap yang tegas terhadap upaya-upaya kekerasan pada penegak hukum kita, dan melindungi semua personil dan upaya serius pembongkaran dan pemberantasan korupsi dari tingkat pusat hingga daerah.
Mari kita terus kirim do’a dan dukungan pada Novel dan keluarganya yang saat ini dalam perawatan medis dan perlindungan keamanan. Percayalah pak Novel Baswedan rakyat Indonesia akan selalu memantau, juga memotivasi gebrakan-gebrakan KPK dalam meringkus tikus-tikus tengik tersebut. Tindak-tanduk korupsi oleh sebagian elite di Pemerintahan sebagai kegiatan yang benar-benar penuh kebohongan!.
Meminjam opini-opini Ahmad Sobary (budayawan), “Tokoh-tokoh kita, rupanya hidup dalam kesadaran yang hampir sepenuhnya palsu. Jiwa mereka miskin. Nalar politik mereka cupet dan buram. Tanpa duit mereka tak berani bersikap gagah. Pendeknya, mereka memelas, tetapi ambisius. Jangan heran mereka tak engga berbuat bohong. Terus menerus.”
Sobary pun melanjutkan, “Kita tahu korupsi bukan Cuma efek samping dari ketidakjelasan aturan birokrasi kita. Juga bukan sekadar karena ada kesempatan. Hasrat menjadi terpandang karena berkuasa dan kaya yang kita sahkan sebagai orientasi kultural yang penting itu, sejak dini sudah membawa bibit terpendam untuk korup.
Kita tidak malu melihat kegetiran ini karena malu itu milik orang dewasa, sedangkan kita, sekali lagi, belum pernah tampak dewasa.”
Makassar, 12 April 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H