Sunardi, pria asal Pare-Kediri ini hijrah ke Makassar pada April 2016. Awal kedatangannya berprofesi sebagai pembuat air tahu dari sari keledai dan tinggal bersama temannya di daerah Kaemba Patte’ne Makassar. Sedangkan istri di Jombang Jawa Timur berprofesi sebagai buruh pabrik sepatu.
Tidak bisa terbayang meninggalkan seorang anak yang masih duduk dibangku kelas 2 Sekolah Dasar dan seorang isrti demi mencari peruntungan di kota Makassar. Dari penuturan Sunardi, memilih profesi sebagai penjual kue buroncong karena saat itu musim penghujan dan tidak ada pemasukan dari hasil menjual air tahu. Setelah berkutat dengan teman penjual buroncong asal Makassar, Sunardi penasaran dan belajar membuat adonan buroncong. Di rasa mahir akhirnya berusaha sendiri sekaligus banting stir mendalami kuliner buroncong sebagai penyambung hidup merupakan alasan realistis di perantauan.
Cerita inspiratif diatas bermula ketika saya ingin membeli kue baroncong khas Makassar legendaris yang mangkal di depan Perumahan BPS. Seperti diketahui khalayak warga Makassar, bahwa baroncong dipastikan penjualnya didominasi orang lokal. Betapa terkejutnya usai ngobrol-ngobrol ternyata menggunakan penjualnya logat jawa. Antusias, saya memberanikan diri bertanya nama dan asal penjual kue buroncong ini dan ternyata perantau dari Pare-Kediri, pertama sempat salah sangka berasal dari daerah Pare-Pare Makassar.
Adapun pembuatan baroncong bahan dicampur menggunakan air dengan memanggang adonan diatas cetakan besi sebelumnya diolesi mentega agar tidak lengket saat diangkat lalau tutup supaya cepat matang, dibakar diatas bara api yang berasal dari kayu bakar. Saat sudah matang ditandai dengan mengembangnya adonan serta pinggirannya berwarna coklat, semakin coklat rada gosong sensasi parutan kelapa dan gurihnya santan kelapa lebih menggoyang lidah konsumen, congkel dari dalam cetakan menggunakan alat semacam gancu mungil.
Buroncong terasa mantap dinikmati selagi hangat, gurih, legit berasal dari kelapa berbur dengan manisnya gula di buroncong. Dalam bahasa indonesia lazim disebut pancong, pukis. Penjualnya menggunakan gerobak dorong, ada yang dimodifikasi dengan sepeda agar bisa dikayuh, ada pula menggunakan kendaraan bermotor roda dua. Gerobak ini dilengkapi lemari kaca kecil untuk menyimpan baroncong yang sudah masak/matang, lalu dilengkapi sebuah ember tempat adonan buroncong berwarna putih dan encer, sedangkan tungku tempat cetakan dan pemanggangan adonan diempatkan dibagian depan.
Sunardi penjual kue buroncong asal Pare Kediri sering mangkal di depan jalan poros masuk komplek perumahan tidak jauh dari tempat saya tinggal, jam 8.00 wita pagi sudah berjualan pulangnya tidak menentu tergantung ketersedian adonan kue baroncong. Ketika “ngidam” kue buroncong untuk saat ini saya tidak terlalu pusing disebabkan mangkal dekat kompleks Perumahan kami. Sunardi berkeinginan kembali menggeluti profesi sebagai penjual air tahu di bulan Ramadhan, tapi itu baru planing ke depan, katanya sembari sesekali senyum-senyum. Betul-betul ikhlas menjalani kerjaan tanpa menampakkan rasa kesal menjalani kerjaannya, meski sebenarnya suara hatinya menjerit akan beratnya beban hidup bagi kawulo alit.
Ketika suatu saat anda berkunjung ke Kota Makassar, tidak ada salahnya mencoba kudapan gurih khas Makassar harganya juga murah tapi tidak murahan ya?. Sangat pas sebagai sarapan pagi untuk bekal perjalanan keliling kota Makassar bahkan sngat klop sebagai cemilan bersantai di sore hari.
Terimakasih mas Sunardi, dengan bermandikan peluh akibat panasnya bara api juga telah sabar dan bersedia untuk diinterogasi sebagai bahan artikel inspiratif sebelum saya membeli kue baroncong olahannya, sekalipun berasal dari Kediri Jawa Timur.
Makassar, 25 Maret 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H