’ (sumber gambar: http://pijarnews.com/)
Betul kiranya bahwa uang panai tidak selalu berujung bahagia, justru paling memberatkan seorang pria untuk melamar kekasihnya. Selain trauma melamar gadis Bugi-Makassar khususnya berdarah ningrat yang berpengaruh terhadap strata sosial kalangan masyarakat masih diterapkan uang panai sebagai syarat mutlak melamar anak gadisnya.
Uang panai boleh disebut sebagai pembunuh nomor wahid di Kota Daeng, bahkan sangat memprihatinkan seolah telah mengubur dalam-dalam nilai sakralitas ritual pernikahan, bukan lagi tradisi nenek moyang bertransformasi menjadi gengsi para orang tua yang memiliki anak gadis. Tentu banyak kasus-kasus gagal menikah gara-gara uang panai hingga nekat bunuh diri.
Hal tersebut dibuktikan Sulfiani (22) dan Tahir (24), kisah cinta mereka berakhir tragis di ujung uang panai. Kasus bunuh diri Sulfiani meninggal setelah menenggak minum racun di rumahnya pada Sabtu (4/3/2017) di Belawa Kabupaten Wajo sempat viral di media online. Penyebab bunuh diri karena keluarga tidak merestui hubungan kedua insan berlainan jenis ini.
Bunuh diri disebabkan tawar menawar uang panai antara keluarga calon mempelai perempuan dengan keluarga mempelai pria yang bernamaTahir hanya mampu menyiapkan uang sebesar Rp. 7 juta untuk bisa meminang Sulfiani. Ditengarai karena uang panai Tahir tidak sesuai keinginan orang tua gadis, kemudian menjadi alasan gagalnya prosesi lamaran. Maka panai pun menjadi alasan Sulfiani mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun.
Setelah membaca berita tertolaknya uang panai/uang lamaran Tahir terhadap Sufiani pihak keluarga perempuan mengatakan “harga sapi saja tidak cukup.Terlebih kakak Sufiani saat menikah pada tahun 2013 uang panainya Rp. 25 juta. Pihak keluarga menghendaki nilai lamarannya diatasnya, setidaknya setara dengan uang panai saudara perempuannya.
Sampai disini saya tidak ingin mengulas uang panai laki-laki yang mau melamar wanita, apalagi sampai menyalahkan budaya Bugis Makassar yang sudah turun menurun, hanya ketidak sepakatan yang membuat rencana lamaran gagal total. Tidak salah dengan adanya panai’ ulama-ulama pun tidak memfatwakan HARAM meskipun ada anjuran atau petuah ulama agar jumlahnya tidak membertkan pihak laki-laki mempersunting seorang perempuan, karena menikah adalah ibadah tidak baik mempersulit. Sedangkan muslim-muslimah yang telah mampu menikah akan tetapi ia tidak menikah hingga akhir hayat tidak akan mendapat sunnah Rasululloh SAW.
Terlepas dari tinggi rendahnya uang panai tidak bisa begitu saja dipersalahkan apalagi sampai menjadi penyebab seseorang melakukan aksi bunuh diri hanya karena alasan keluarga saat lamaran, sebenarnya bisa dibicarakan secara terbuka sampai menemui kesepakatan, karena ada hubungannya dengan biaya resepsi pernikahan disamping sebagai penghargaan kepada pihak perempuan. Semakin tinggi level pendidikan perempuan maka otomatis panainya tinggi.
Konon beritanya ada calon lain lebih baik secara ekonomi dan disenangi pihak keluarga Sulfiani yang ditunggu untuk melamar, tidak padang bulu apakah anak gadisnya senang atau tidak sehingga depresi dan bunuh diri. Fenomena panai hingga saat ini merupakan momok tersendiri bagi pemuda-pemuda Bugis-Makassar belum mapan/kerja, lain cerita bagi anak seorang juragan tanah, pasalnya belum mampu memenuhi target panai dari pihak perempuan. Lantaran panai terlalu tinggi kisah kasih tak sampai ke pelaminan
Walaupun sudah tradisi jangan sampai menjadi penghalang bersatunya cinta kasih kedua insan berlainan jenis dalam ikatan pernikahan. Perlu menjadi perhatian orang tua yang memilki anak gadis termasuk saya sendiri, untuk lebih perhatian terhadap perkembangan anak jaman sekarang agar tidak melakukan hal-hal diluar sepengetahuan kita hingga mereka dewasa kemudian memutuskan menikah. Mengenai panai adalah tradisi bukan gengsi.
Makassr, 23 Maret 2017
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H