Sakit Tak Kunjung Sembuh, Satu Keluarga Bunuh Diri Sangat tidak bisa dipercaya  akan tetapi nyata adanya, seperti pemberitaan satu keluarga merasa putus asa akan sakit yang tak kunjung sembuh.
Aksi nekat warga Banjoa Dinas Jero Kuta, desa Bondalem Kecamatan Tejakula Buleleng Bali ini didasari atas rasa putus asa akan sakit yang tidak ujung usai. Mereka adalah Kadek Artaya (32), Kadek Suciani (27), Wahyu Adi Saputro (7), dan Dwi Cahya Putri (3), untuk mengakhiri penderitaan tersebut ayah, ibu serta kedua anaknya ditemukan tewas usai bunuh diri dengan cara meminum pestisida dicampur minuman bersoda, pada Kamis (23/2/2017).
Faktor bunuh diri lantaran putus asa akan ujian sakit bergilir terjadi terus menerus secara bergilir, guna memutus mata rantai mereka mengambil jalan pintas dengan menenggak pestisida bercampur soda yang ditemukan dekat pelaku. Kalau menurut pemberitaan di media, istrinya mempunyai penyakit batuk tidak sembuh-sembuh sehingga uang mereka terkuras habis untuk biaya pengobatan. Membaca kasus ini saya langsung berfikiran negatif bahwa program pemerintah baik pusat maupun derah akan jaminan kesehatan melalui ASKES sekarang BPJS gagal total kacau balau, seharusnya pemerintah, tetangga dekat, RT/RW jeli melihat penderitaan warganya seiring maraknya promosi kartu jaminan indonesia sehat. Terbukti semakin banyak Rumah Sakit berdiri mewah tidak merta mengurangi orang sakit.
Dalam kasus ini pelbagai jenis produk obat yang beredar di pasaran justru semakin merangsang munculnya jenis penyakit baru, sehingga konsumen dipaksa menelan obat-obatan tanpa perkembangan berarti. Upaya satu keluarga untuk sembuh malah berujung derita, pelaku juga tidak sepenuhnya disalahkan. Depresi, malu, disharmoni hubungan keluarga, tetangga dekat merupakan faktor ekonomi paling mendominasi terjadinya aksi bunuh diri. Kerjasama segala element masyarakat melalui perangkat desa harus lebih perhatian agar kasus serupa tidak terulang. Hal ini serius untuk dituntaskan demi meredam tingkat bunuh diri di Buleleng-Bali juga daerah lain.
Sakit bila dilihat dari sisi lahiriahnya saja itu benar, sakit penuh keburukan dan penderitaan. Tetapi coba kita lihat sakit dari sisi spiritual/rohani, maka kita akan mendapat kenikmatan abadi, berpayunglah kita dibawah naungan rasa syukur, apabila tekanan sakit begitu besar, maka sebagai makhluk lemah wajib meminya kesabaran kepada Alloh SWT bukan malah bunuh diri, sebab itu akan menimbulkan optimisme yang menjadi dasar proses penyembuhan secara rohaniah.
Sakit yang diujikan Alloh terhadap makhluk ciptaan-NYA juga diturunkan obatnya. Mungkin saja obat itu terdapat di dalam pil-pil kimiawi, atau didalam jamu-jamu tradisional, termasuk juga, sangat mungkin sekali jika Alloh menghendaki meletakkan obat bagi penyakit itu kedalam amalan ibadah, seperti sedekah, dan tidak ada satupun kekuatan di muka bumi ini yang mampu melawan kehendak Alloh.
Bagi orang moderen, kegagalan berarti berencana mengakhiri hidup. Ketika manusia sampai pada tingkatan berputus asa, dia akan melakukan hal-hal yang meruntuhkan keluhuran nilai-nilai kemanuasiaannya. Oleh karena itulah, tidak susah bagi mereka menjadikan bunuh diri sebagai keputusan.
Kesehatan memang mahal. Ongkos obat dan rumah sakit membubung tanpa kendali. Adanya penyakit membuat banyak pihak meraih untung segunung, sudah biaya tinggi masih juga diperparah oleh peredaran obat palsu di pasaran. Orang miskin selalu menjadi korban dari sistem kesehatan yang diktator, diskriminatif. Lalu siapa yang dirugikan oleh kondisi seperti ini?
Makassar, 26 Februari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H