Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mbah Boiran "Memerdekakan" Dirinya Melalui Kesendirian

21 Februari 2017   08:59 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:33 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup seorang kakek bernama Boiran yang tidak lain adalah tetangga kampung orang tua laki-laki saya. Usianya sudah 65 tahun dan hidup menduda semenjak istrinya meninggal karena sakit. Sepeninggal istrinya kakek survivor juga “terasing” dari keluarganya sendiri, tak ayal ia harus angkat kaki menjauh dari saudara-saudaranya yang kurang berkenan akan keberadaan kakek boiran.

Tragisnya, usai istrinya meninggal dunia kehidupannya dipenuhi penderitaan, dikatakan demikian karena selama tiga hari sakit tak seorangpun mengetahuinya. Pada hari ke empat ada seorang anak tanpa sengaja melihat rumah kakek begitu sepi, rumah tertutup rapat bak tak berpenghuni, anak tersebut memanggil-manggil, namun tidak ada jawaban, tak ayal menempuh cara buka paksa, didapatilah sosok renta terbaring lemah menggelepar nyaris meninggal.

Selanjutnya anak tadi melaporkan kepada tokoh masyarakat/ulama setempat, bahwa ditemukan sosok tua renta sakit tanpa perawatan. Setelah menerima laporan dari bocah penemu kakek tadi, tokoh masyarakat/ulama melaporkan penemuan tersebut kepada perangkat desa yaitu Kepala Desa untuk menanyakan biaya perawatan mbah Boiran. Diluar ekspektasi sebagai aparatur desa Kepala desa, mengatakan, “desa belum ada anggaran/dana sosial masyarakat bagi mbah Boiran.” Wahai Bupati dengarlah keresahan rakyatmu, jangan selalu melihat ke atas, sekali-kali menengok kebawah untuk lebih memperhatikan kehidupan warganya.

Akhirnya, untuk menutupi rasa malu seluruh warga desa tempat asal mbah Boiran, tokoh masyarakat/ulama tadi mengambil langkah dengan mengangkut seluruh gubug mbah Boiran ke desa Kandangan Kabupaten Ngawi, rumah tersebut berdiri disebelah rumah tokoh masyarakat/ulama, untuk mudah memberikan perawatan kesehatan dan makan seperlunya dengan biaya pribadi. Kata orang tua saya, “Saudara dari Kakek ini tidak ada yang mau merawatnya dan dia sendiri tidak memiliki keturunan.” Ujarnya.

(dokpri/subhan)
(dokpri/subhan)
Mirisnya, ketika mbah Boiran mencoba ingin tinggal bersama saudara dari istri mbah Boiran (almarhumah), justru mendapat penolakan dari suami saudara istrinya tersebut. Walhasil mbah ini mengarungi hidup sebatang kara dengan SDM sangat terbatas, tidak mempunyai keahlian, ingin bertani pun sudah tidak berdaya lagi sebab ditelan usia. Kebiasaan mbah Boiran lainnya sebagai pemulung mengumpulkan barang bekas, kardus bekas, untuk dijual ke pengepul barang bekas. Kelebihan mbah Boiran adalah mampu bertahan dengan segala lilitan problema kehidupan sendirian (single fighter),kebiasaan buruknya merokok serta suka keluyuran tanpa tujuan jelas hingga senja menggunakan sepeda onthel.  Dirasa senja mbah Boiran pulang lalu turut sholat maghrib, isya’, subuh berjamaah di masjid, itupun seingatnya saja, lantaran sedikit kurang ingatan. Terlepas dari uluran tangan pemerintah desa setempat, urusan makan dan minum ditanggung orang tua selagi hidup. Rupanya merdeka belum sepenuhnya memihak fakir miskin dan orang terlantar yang katanya “dipelihara” negara.

Selama menjalankan cuti tahunan sebagai ASN di desa Kandangan Kabupaten Ngawi, saya mengakrabkan diri dengan mbah Boiran untuk bertukar pengalaman. Ternyata orangnya humoris, rajin disuruh, jujur dan inspiratif. Mbah Boiran memberi wejangan kepada saya, mas urip kuwi Lebih baik 'Mengerti' ketimbangane "Pinter". Saya bertanya kenapa Mbah?, Jawabannya begitu diplomatis, Pinter kuwi rumongso paling bener dewe, biasane keminter kanggo minteri. Trus nek ‘Mengerti’ dia tahu apa yang dibutuhkan orang lain dan masa depan dirinya. 

Intinya banyak orang pinter menyalahgunakan kepinterannya kanggo hal-hal sing olo/negatif, contone korupsi, pungli, ngapusi, sebabe merasa pinter dari orang lain, bahasa sederhananya akal bulus. Akan tetapi mengerti itu merupakan kejelian seseorang untuk memikirkan kebutuhane rakyat serta dirinya tanpa ada yang merasa dirugikan, paribasane sepi ing pamrih rame ing gawe. Luwih tepate deloken pari/padi, ‘Ketika padi kian berisi malah menunduk, itu menandakan semakin tinggi sekolah seseorang harus lebih kona’ah/bijak, bukan malah sombong sing ujung-ujunge memasukkan dirinya dalam kesesatan.’ Mantab tenan wejangane mbah Boy.

Walau hidup penuh kesusahan, sampai saya usai cuti di kampung beliau menjalankan kehidupan penuh keceriaan, jujur, tidak mencuri atau merugikan orang lain. Lantas bagaimana dengan kita yang hidup berkecukupan, berakal sehat melakukan perbuatan keji serta merampas hak orang lain secara paksa, justru berperilaku tidak lebih baik dari kehidupan mbah Boiran.

Asal usul berdirinya rumah sangat sederhana mbah boiran, dari desa Gerih Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi, pindah Kandangan Kabupaten Ngawi, lebih tepatnya di Desan pada tahun 1980. Tahun 2009 pindah diatas tanah dan bersebelahan dengan orang tua saya bertahan hingga sekarang.

Ngawi, 12 Februari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun