Hidup seorang kakek bernama Boiran yang tidak lain adalah tetangga kampung orang tua laki-laki saya. Usianya sudah 65 tahun dan hidup menduda semenjak istrinya meninggal karena sakit. Sepeninggal istrinya kakek survivor juga “terasing” dari keluarganya sendiri, tak ayal ia harus angkat kaki menjauh dari saudara-saudaranya yang kurang berkenan akan keberadaan kakek boiran.
Tragisnya, usai istrinya meninggal dunia kehidupannya dipenuhi penderitaan, dikatakan demikian karena selama tiga hari sakit tak seorangpun mengetahuinya. Pada hari ke empat ada seorang anak tanpa sengaja melihat rumah kakek begitu sepi, rumah tertutup rapat bak tak berpenghuni, anak tersebut memanggil-manggil, namun tidak ada jawaban, tak ayal menempuh cara buka paksa, didapatilah sosok renta terbaring lemah menggelepar nyaris meninggal.
Selanjutnya anak tadi melaporkan kepada tokoh masyarakat/ulama setempat, bahwa ditemukan sosok tua renta sakit tanpa perawatan. Setelah menerima laporan dari bocah penemu kakek tadi, tokoh masyarakat/ulama melaporkan penemuan tersebut kepada perangkat desa yaitu Kepala Desa untuk menanyakan biaya perawatan mbah Boiran. Diluar ekspektasi sebagai aparatur desa Kepala desa, mengatakan, “desa belum ada anggaran/dana sosial masyarakat bagi mbah Boiran.” Wahai Bupati dengarlah keresahan rakyatmu, jangan selalu melihat ke atas, sekali-kali menengok kebawah untuk lebih memperhatikan kehidupan warganya.
Akhirnya, untuk menutupi rasa malu seluruh warga desa tempat asal mbah Boiran, tokoh masyarakat/ulama tadi mengambil langkah dengan mengangkut seluruh gubug mbah Boiran ke desa Kandangan Kabupaten Ngawi, rumah tersebut berdiri disebelah rumah tokoh masyarakat/ulama, untuk mudah memberikan perawatan kesehatan dan makan seperlunya dengan biaya pribadi. Kata orang tua saya, “Saudara dari Kakek ini tidak ada yang mau merawatnya dan dia sendiri tidak memiliki keturunan.” Ujarnya.
Selama menjalankan cuti tahunan sebagai ASN di desa Kandangan Kabupaten Ngawi, saya mengakrabkan diri dengan mbah Boiran untuk bertukar pengalaman. Ternyata orangnya humoris, rajin disuruh, jujur dan inspiratif. Mbah Boiran memberi wejangan kepada saya, mas urip kuwi Lebih baik 'Mengerti' ketimbangane "Pinter". Saya bertanya kenapa Mbah?, Jawabannya begitu diplomatis, Pinter kuwi rumongso paling bener dewe, biasane keminter kanggo minteri. Trus nek ‘Mengerti’ dia tahu apa yang dibutuhkan orang lain dan masa depan dirinya.
Intinya banyak orang pinter menyalahgunakan kepinterannya kanggo hal-hal sing olo/negatif, contone korupsi, pungli, ngapusi, sebabe merasa pinter dari orang lain, bahasa sederhananya akal bulus. Akan tetapi mengerti itu merupakan kejelian seseorang untuk memikirkan kebutuhane rakyat serta dirinya tanpa ada yang merasa dirugikan, paribasane sepi ing pamrih rame ing gawe. Luwih tepate deloken pari/padi, ‘Ketika padi kian berisi malah menunduk, itu menandakan semakin tinggi sekolah seseorang harus lebih kona’ah/bijak, bukan malah sombong sing ujung-ujunge memasukkan dirinya dalam kesesatan.’ Mantab tenan wejangane mbah Boy.
Walau hidup penuh kesusahan, sampai saya usai cuti di kampung beliau menjalankan kehidupan penuh keceriaan, jujur, tidak mencuri atau merugikan orang lain. Lantas bagaimana dengan kita yang hidup berkecukupan, berakal sehat melakukan perbuatan keji serta merampas hak orang lain secara paksa, justru berperilaku tidak lebih baik dari kehidupan mbah Boiran.
Asal usul berdirinya rumah sangat sederhana mbah boiran, dari desa Gerih Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi, pindah Kandangan Kabupaten Ngawi, lebih tepatnya di Desan pada tahun 1980. Tahun 2009 pindah diatas tanah dan bersebelahan dengan orang tua saya bertahan hingga sekarang.
Ngawi, 12 Februari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H