Tak banyak perubahan di negara indonesia. Semua berawal dari keresahan beberapa orang yang merasakan getirnya perubahan itu. Sebagai negara yang besar kita tidak boleh melupakan perjuangan para pahlawan yang gugur mendahului kita demi memerdekakan bangsanya dari penjajah.
Kontribusi apa yang pemerintah berikan terhadap kemerdekaan Tajudin si penjual cobek. Mereka juga mempunyai hak hidup yang sama, tidak sekedar hidup mengenyam pendidikan, menikah, kemudian mati. Kalau hanya itu yang juru pengadil inginkan, ayam dikandang pun bisa hidup layak. Mereka juga punya mimpi untuk melakukan perubahan nasib untuk kehidupan lebih layak. Berbeda perlakuan bagi pengeruk uang negara (koruptor), perselingkuhan pejabat. Mereka lmendapatkan perlakuan istimewa layaknya artis papan atas.
Berbeda akan halnya orang-orang kaya dan berkuasa, rakyat miskin memang ditakdirkan untuk hidup miskin. Alloh SWT memberi cobaan tidak akan melampaui dari kemampuan umatnya, atas tingkat ketawakalan rakyat mejalankan kemiskinan maka akan diberi kemiskinan terus menerus. Sebab kehidupan pejabat negeri ini serba mentereng, dari balik tembok tebal, pagar tinggi merupakan jurang pemisah antar kasta, tidak perduli didalamnya busuk.
Apa bedanya bupati dengan penjual cobek, sama-sama manusia, makannya nasi, sama-sama buang hajat, rambut sama hitam, darah sama merah. Profesi Bupati dan Tukang cobeklah yang membedakan perlakuan hukum, jelas terlihat fenomena diskriminasi luar biasa di negeri ini.
Dalam kasus ini saya tidak ingin berspekulasi, khawatir mengalami nasib serupa dengan Tajudin penjual cobek. Karena polemik kebebasan penjual cobek pasti telah diulas tuntas berbagai media cetak dan elektronik, silahkan seleksi sendiri melalui google.
Apa sudah tidak punya rasa malu, sedangkan dalam ilmu fiqih agama islam diajarkan tata cara mencuci kemaluan secara baik dan benar sesuai syariat tidak sekedar buang-buang air semata. Bukan berarti jorok loh!.
Pepatah mengatakan, “ketika seseorang berbagi sesuatu yang bermanfaat dan kamu mendapat manfaat dari itu, maka kamu punya obligasi moral untuk membagi hal itu juga ke orang lain.”
Makassar, 21 Januari 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H