Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bupati Katingan Dimakzulkan, Kemerdekaan Tajudin Dicobek-cobek

21 Januari 2017   14:56 Diperbarui: 21 Januari 2017   15:07 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 (sumber gambar: http://www.jawapos.com/)

Penahanan penjual cobek Tajudin tidak tepat. Kesadaran anak yang mau membantu orang tua meringankan beban orangtua membantu mempertahankan asap dapur tetap mengebul bukanlah tindakan eksploitasi, yang mana penangkapan terhadap Tajudin penjual cobek, setidaknya menyayat hati keluarga, apalagi istrinya dalam kondisi hamil dan saat itu bertepatan melahirkan.

Mau tidak mau selama dalam tahanan istri dan anak-anak Tajudin kehilangan kepala keluarga, hidup terlunta-lunta terpaksa menerima uluran tangan tetangga untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagai aparat penegak hukum seharusnya mendengarkan suara atau pendapat anak. Apakah anak merasa dipaksa atau justru timbul kesadaran ingin membantu orang tua menjemput rejeki. Kalau seperti itu kenapa dituduh eksploitasi anak.

Hukum di negeri ini masih berpegang pada prinsip “tajam kebawah tumpul ke atas,” penilaian hal-hal tentang eksploitasi perlu kembali diluruskan karena penting untuk mendengarkan pendapat dari anak, apakah merasa dieksploitasi atau tidak. Tajudin pengrajin cobek harus menghuni penjara selama 9 bulan. Kebebasannya dirampas setelah dituduh mengeksploitasi anaknya, yaitu Cepi (14) dan Dendi, yang ikut membantunya menjual cobek di sekitar Jalan Raya Perum Graha Bintaro, Kota Tangerang Selatan. Tajudin akhirnya bebas. Penjual cobek itu dituduh mempekerjakan anak dan dituntut 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta. Belakangan terungkap, tuduhan itu isapan jempol belaka. Tak terima atas kebebasan penjual cobek, jaksa bengek justru mengajukan kasasi padahal hakim menyatakan Tajudin tak bersalah atas tuduhan eksploitasi anak.

Perlu diluruskan kembali tuduhan eksploitasi seperti apa. Kita perlu tanya ke anak apakah mereka membantu meringankan orang tua karena terpaksa atau kemauannya sendiri, melihat ketimpangan perekonomian negeri ini. Mungkin nasib kaum marjinal harus selalu digilas para kapitalis yang mempunyai jabatan/memilki kekuatan hukum. kemerdekaan penjual cobek yang dijajah, disobek-sobek oleh kekuatan hukum sepihak.

Pembukaan UUD 1945 paragraf pertama menuliskan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa an oleh sebab itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.” Lebih jauh dalam UUD 1945 Bab XIV pasal 34 ayat 1 berbunyi, “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” Pemerintah harus mengamalkan amanah UUD 45 tersebut, sudahkah?.

Kasus ini tak perlu dibesar-besarkan sehingga menjadi sorotan media, semua hanya salah paham. Keputusan jaksa mengajukan kasasi sangat bertentangan dengan keinginan banyak orang, publik sudah memutuskan vonis bebas yang diberikan oleh hakim. Pengrajin cobek ini mampu merubah keputusan jaksa dengan melawan keadilan publik. Bukannya berterimakasih atas vonis bebas yang diberikan hakim. Apakah jaksa tidak memikirkan, kalau kasasi dikabulkan pihak hakim, Tajudin kembali mendekam dalam penjara. Negara sudah seharusnya meminta ma’af kepada Tajudin dan keluarga, kembalikan nama baiknya dan memberikan ganti rugi sesuai amanah UUD 1945.

Perlindungan orang-orang miskin dan tak mampu menebus  uang ratusan juta untuk membeli kebebasan, kasasi jaksa dipertanyakan?. Sehingga tidak ada lagi salah persepsi tentang eksploitasi anak. Akhirnya, PN Tangerang memvonis bebas Tajudin karena tidak terbukti mengeksploitasi anak seperti tuduhan jaksa. Itu didasari pertimbangan sosiologis, yakni anak-anak membantu orang tuanya. Secara sosiologis, anak-anak sudah biasa membantu orang tuanya.

Sebaliknya kasus perselingkuhan yang membelit Bupati Katingan Ahmad Yantenglie kepergok berdua-duaan dengan istri anggota polisi FY tanpa busana di kamar sebuah rumah di Jalan Nangka, Kamis 5 Januari 2017 di Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah, membuat  sang suami SH melaporkan perzinahan tersebut ke Polres Katingan. Belakangan laporan perselingkuhan dimakzulkan oleh SH, atas dasar terbitnya Surat Penghentian Perkara (SP3) otomatis kasusnya ditutup.  

Ada apa dengan kapasitas hukum di negeri ini, pejabat kaya makin leluasa berkuasa, warga miskin makin tersingkir, memiriskan, memilukan ditengah perekonomian begitu memprihatinkan. Kian menyusut saja keberpihakan terhadap orang pinggiran, juru pengadil justru berlaku tidak adil. Kata pro keberagaman. Harusnya membela yang benar bukan membela yang bayar. Kemana HAM berpolitik, kemana demokrasi, kemana kerakyatan? Jika bernyanyi digilas, dijerat. Mau kemana arahnya? Apa menuju otoriter tirani, sosialis, komunisme?.

 ***

Tak banyak perubahan di negara indonesia. Semua berawal dari keresahan beberapa orang yang merasakan getirnya perubahan itu. Sebagai negara yang besar kita tidak boleh melupakan perjuangan para pahlawan yang gugur mendahului kita demi memerdekakan bangsanya dari penjajah.

Kontribusi apa yang pemerintah berikan terhadap kemerdekaan Tajudin si penjual cobek. Mereka juga mempunyai hak hidup yang sama, tidak sekedar hidup mengenyam pendidikan, menikah, kemudian mati. Kalau hanya itu yang juru pengadil inginkan, ayam dikandang pun bisa hidup layak. Mereka juga punya mimpi untuk melakukan perubahan nasib untuk kehidupan lebih layak. Berbeda perlakuan bagi pengeruk uang negara (koruptor), perselingkuhan pejabat. Mereka lmendapatkan perlakuan istimewa layaknya artis papan atas.

Berbeda akan halnya orang-orang kaya dan berkuasa, rakyat miskin memang ditakdirkan untuk hidup miskin. Alloh SWT memberi cobaan tidak akan melampaui dari kemampuan umatnya, atas tingkat ketawakalan rakyat mejalankan kemiskinan maka akan diberi kemiskinan terus menerus. Sebab kehidupan pejabat negeri ini serba mentereng, dari balik tembok tebal, pagar tinggi merupakan jurang pemisah antar kasta, tidak perduli didalamnya busuk.

Apa bedanya bupati dengan penjual cobek, sama-sama manusia, makannya nasi, sama-sama buang hajat, rambut sama hitam, darah sama merah. Profesi Bupati dan Tukang cobeklah yang membedakan perlakuan hukum, jelas terlihat fenomena diskriminasi luar biasa di negeri ini.

Dalam kasus ini saya tidak ingin berspekulasi, khawatir mengalami nasib serupa dengan Tajudin penjual cobek. Karena polemik kebebasan penjual cobek pasti telah diulas tuntas berbagai media cetak dan elektronik, silahkan seleksi sendiri melalui google.

Apa sudah tidak punya rasa malu, sedangkan dalam ilmu fiqih agama islam diajarkan tata cara mencuci kemaluan secara baik dan benar sesuai syariat tidak sekedar buang-buang air semata. Bukan berarti jorok loh!.

Pepatah mengatakan, “ketika seseorang berbagi sesuatu yang bermanfaat dan kamu mendapat manfaat dari itu, maka kamu punya obligasi moral untuk membagi hal itu juga ke orang lain.”

Makassar, 21 Januari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun