Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rendahnya Minat Baca Lahirkan Generasi Kutu "Busuk"

15 Januari 2017   08:25 Diperbarui: 4 April 2017   18:09 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada yang salah dengan kalimat hidup tak selamanya sesuai keinginan, yang salah ketika keinginan tak sesuai kehidupan, lantas potong kompas untuk mencapai suatu keinginan. Ini dikarenakan dalam proses awal penciptaan manusia ditiupkan nyawa satu paket dengan hawa nafsu birahi. Lain halnya penciptaan malaikat diciptkan dari nur tanpa paket nafsu birahi, sehingga apapun perintah Tuhan pasti akan dilaksanakan.

Tidak demikian dengan manusia, hanya segelintir yang sanggup memenuhi perintah Tuhan, jangankan sang Pencipta perintah pimpinan pun terkadang diabaikan, dengan alasan anak/keponakan/cucu/cicit dari pemilik perusahaan atau pimpinan sebuah institusi, akibatnya berpolah semaunya, masuk kerja sekehendak hati, berbicara seperti Tarzan tanpa pikir panjang bahwa saat itu bukan berada di tengah hutan belantara. Jauh dari rasa tepo sliro di sebuah perusahaan/instansi pemerintah. Ketika pimpinan dinas luar dia pun tidak masuk kerja atau sengaja terlambat menuju tempat kerja. Kasihan sekali negara menganggarkan gaji guna membayar SDM seperti ini.

Kita tinggalkan keliaran SDM yang membanggakan dekeng ini, biarkan saja menikmati pengaruhnya, selagi masih diberi nafas kehidupan. Kini kita fokus ke persoalan rendahnya minat baca, lantaran pusat-pusat baca di negara berkembang seperti Indonesia mengalami penurunan pengunjung. Perkembangan teknologi informasi tersebut begitu memanjakan user memperoleh informasi melalui dunia internet.

Adanya om google buku-buku seakan hanya pajangan penghias rak perpustakaan tanpa sentuhan tangan pembaca, tragisnya perpustakaan sebagai tempat baca mulai dialih fungsikan sebagai gudang atau tempat ngobral-obrol ngalor-ngidul sehingga kesakralan perpustakaan sebagai tempat baca terbilang mitos hoax belaka.

Jeblognya tata krama di negeri ini mulai nyata seiring perkembangan pembangunan ibukota kian menggila. Sarana dan prasarana perpustakaan mencerdaskan kehidupan bangsa sia-sia, lahirkan kebodohan moral.

Merawat perpustakaan  itu ibarat merawat organ intim perempuan tidaklah mudah, dibutuhkan kesabaran ekstra, untuk menambah daya pikat pasangannya. Dimana daerah ‘intim’ merupakan salah satu organ kehormatan perempuan. Oleh sebab itu, kebersihannya selalu dijaga. Namun bagaimana jika organ intim tiba-tiba mengeluarkan aroma kurang sedap? Begitu pula perpustakaan, bila kondisinya jorok, beraroma kurang sedap tentu akan dijauhi peminat baca.

Hal pertama dilakukan tentu dengan segala cara menghilangkan aroma tak sedap dari dalam perpustakaan. Cara tepat membersihkan area intim dengan membasuh vulva (bagian luar bagian intim) setia hari dengan pembersih khusus kewanitaan.

Sebaliknya hindari menggunakan sabun yang bukan diformulasikan untuk area kewanitaan. Merubah stigma negatif perpustakaan hal pertama dilakukan pelayanan ramah. Hilangkan bau tak sedap di perpustakaan, bersihkan ruang setiap hari dengan pengharum ruangan, taburi fungi (anti jamur) pada rak-rak buku agar tidak “dibaca” kutu busuk, kebiasaan buruk ngobrol diganti kebiasaan membaca bahan pustaka.

Kehidupan di perkotaan banyak menawarkan kenikmatan bagi penggemar shopping, kongkow-kongkow, kaum sosialita di Mall, bioskop. Tata ruang nyaman perpustakaan bukan jaminan tamu sudi berkunjung. Tembok-tembok beton hanya kita temui gedung-gedung serba guna, hotel, rumah toko, pusat grosir. Porsi pembangunan gedung perpustakaan tak sebanding dengan kehidupan hedonisme. Celakanya tidak hanya masyarakat perkotaan akan tetapi masyarakat pedesaan yang tadinya tidak pernah menginjakkan kaki ke Mall, mau tidak mau harus ke sana dalam mencari kesenangan, menjadikan pengunjung perpustakaan antara hidup segan mati tak mau. Tidak menampik ada perpustakaan memberlakukan sistem buka tutup hanya karena “kesepian” pengunjung.

Tak banyak, akan tetapi ketersediaan ruang-ruang baca setidaknya masih bisa terdeteksi keberadaannya dibeberapa lokasi. Ada namanya perpustakaan umum, perpustakaan kampus, perpustakaan masjid, Perpustakaan perseorangan, taman baca masyarakat, perpustakaan sekolah hingga perpustkaan khusus lembaga, paling memprihatinkan keberadaan perpustakaan khusus lembaga, koleksinya berdebu, tak terurus, terbengkalai itu mutlak adanya.

Mengapa saya berani bilang demikian, faktanya banyak orang-orang menuntut lebih atas fasilitas perpustakaan, nyatanya saat ini mendengar kata “perpustakaan” saja pura-pura bolot, normal mendengar ketika perpustakaan tersedia anggaran, usai itu tuli lagi. Dibutuhkan kontrol debu dan kontrol manusia untuk menjaga kelestarian bahan pustaka. Sebagai petugas perpustakaan tak jarang merasa sedih dengan keberadaan gedung-gedung perpustakaan, mewah berdiri, fasilitas lengkap, akan tetapi lengang pengunjung. Sementara masyarakat menuntut ragam sarana prasarana perpustakaan di tingkatkan.

Padahal menurut pakar perpustakaan “Perpustakaan adalah sebuah ruangan, bagian sebuah gedung, ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku dan terbitan lainya yang biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca, bukan untuk dijual”. (Sulistyo Basuki 1993).

 ”Perpustakaan adalah suatu ruangan, bagian dari gedung/bangunan, atau gedung tersendiri, yang berisi buku-buku koleksi, yang disusun dan diatur sedemikian rupa, sehingga mudah untuk dicari dan dipergunakan sewaktu-waktu diperlukan oleh pembaca”.(Sutarno NS 2006).

Pegiat literasi dan memiliki hati terhadap buku, dalam merangsang minat baca tentu akan berfikiran memodifikasi bisnis kafe tak jarang ada menyulapnya menyatu dengan kafe, ini merupakan salah satu solusi “surga buku” bagi penggila buku. Meski hitungan jari keberadaan kafe-kafe yang menyediakan sudut pustaka pengobat kemerosotan moral generasi muda saat ini.

Mengutip kalimat Garin Nugroho, Perpustakaan adalah membaca kehidupan, membaca kerja kehidupan, membaca kerja ke depan, membaca keterampilan, membaca lingkungan dan membaca kebersamaan.”

Makassar, 15 Januari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun