Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Keterbatasan "Sauan" Lahirkan Karya Inspiratif

14 Januari 2017   17:43 Diperbarui: 14 Januari 2017   19:07 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perilaku tidak manusiawi sering menghinggapi para penyandang epilepsi. Stigma negatif terahdap orang dengan epilepsi dikarenakan gangguan makhluk halus, roh jahat, kesurupan, sebagai penyakit kutukan hingga keturunan masih erat melekat kepada keluarga ODE (orang dengan epilepsi). Tak ayal “AIB” menohok, pembawa “SIAL” menjijikan serta harus diasingkan, dipasung atau dibiarkan menggelepar meregang nyawa, tanpa pengobatan memadai, keadaan ini diperparah langkanya obat bagi penyandang epilepsi.

Indonesia mengenal beragam bahasa daerah untuk kelainan syaraf ini dengan sebutan: solpot, sawan, dan yang paling populer sebagai bahan cela-celaan yaitu AYAN. Bisa-bisa mengancam keberlangsungan hidup.

Kesalahan persepsi biasanya terjadi karena masih minimnya informasi dan pola pengertian masyarakat keliru yang telah terproses sejak lama, stigma negatif penyakit Epilepsi masif di temui, saya biasa mendapat pertanyaan negatif, “penyakit keturunan/kutukan, menular kah?”. Isu salah kaprah ini begitu populer, walau perkembangan ilmu pengetahuan teknologi begitu pesat berkembang, sayangnya tidak dibarengi moral berkualitas.

Padahal, para penyandang Epilepsy sangat membutuhkan dukungan penuh. Terutama selama masa pengobatan yang memerlukan kedisiplinan dan kepatuhan, kelangkaan obat penyandang epilepsi Pemerintah seakan perlahan-lahan “membunuh” usia hidup kaum minoritas ini.

Novel Sauan bukan sawan (secercah Asa untuk Athena) terbitan Master Peace Writing Labs Jl. Suling No. 17, Turangga Bandung karya Imaduddin Nasution salah satu orang dari ribuan juta jiwa penduduk seluruh dunia dengan epilepsi, menepis bahwa kerterbatasan seseorang tidak menyurutkan niat mulia seseorang untuk tetap belajar dan berkarya, bahkan sebagai inspirasi bagi yang membacanya termasuk saya.

Sepenggal cerita Sauan (Secerah Asa untuk Athena) menyentuh dihati syarat akan makna perasaan pembacanya. Sedikit menyadur ulang apa yang dituliskan Imam, “Epilepsi tidak melulu kejang dengan mulut berbusa. Bengongnya Asa Banua Rangkuti adalah salah satu bentuk epilepsi. Terkadang orang salah mengartikan bentuk epilepsi yang ini. Epilepsi bentuk absans bukanlah dimana epilepsi dimana penderita nampak jelas mengalami kejang. Asa tidak pernah sekalipun mengalami kejang.”

“Namun Asa terlihat sering bengong, melamun dan kehilangan kesadaran. Asa kerap mengalami situasi dimana dia mendadakberhenti dari segala kegiatannya. Beberapa detik terdiam, dengan mata terbuka lebar da muluttidak terkontrol. Seluruh tubuh Asa tidak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya.”

“Dia kemudian lupa kejadian yang terjadi sebelumnya. Ketika akhirnya tersadar.”

Absans epilepsi memang sangat erat dengan gannguan jiwa. Bahkan secara keseluruhan, semua jenis epilepsi memiliki keterkaitan dengan kondisi kejiwaan penderitanya. Pikiran dan perilaku aneh terkadang muncul pada penderita psikosis postictal. Terapi ibadah setidaknya membantu penderita dari ketergantungan obat kimia.

Namun terapi ibadah (sholat, dzikir, tadarus Al-qur’an) ini masih mendapat reaksi negatif dari sebagian ahli kesehatan dunia. Terutama para dokter indonesia yang memiliki kepentingan dengan pihak perusahaan farmasi besar, mereka cenderung membela perusahaan farmasi besar dan buka malah membela kepentingan pasien. Pada novel ini juga diuraikan bahwa seorang pensiunan professor bidang kedokteran pernah mengatakan, “kualitas obat ditentukan oleh harganya. Dokter itu sekolah mahal-mahal, tentu bukan untuk tidak kembali modal.”

Novel karya Imamuddin Nasution membangkitkan sebuah optimisme ditengah dikriminatif kenormalan jiwa seseorang. Tak banyak novel yang mengisahkan tentang orang yang berkebutuhan khusus, apalagi tentang epilepsi. Menginspirasi para penyandang epilepsi untuk berkarya, jangan mau kalah dengan kesehatan mereka, cerita ini mengajak kita semua untuk mengetahui bagaimana seseorang yang mempunyai keterbatasan yang diperankan Asa juga dimeriahkan dengan Athena bersama teman-temannya menjalani hari-hari seperti manusia lainnya, juga menceritakan perjalanan cintanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun