Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jihat Melawan Kekuasaan Jilat-Menjilat, Caranya?

8 Januari 2017   15:21 Diperbarui: 8 Januari 2017   15:57 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jamak kita dengar bahkan sering mengucapkan kata jilat-menjilat, baik itu bertujuan bercanda maupun menyindir seseorang dalam lingkaran birokrasi. Yang jelas jika pedang melukai tubuh, masih ada harapan akan sembuh, nah jika lidah melukai hati kemana obat hendak kita cari. Peribahasa indonesia memaknai goresan pedang melukai tubuh masih bisa disembuhkan, sebaliknya jika kata-kata yang keluar dari lidah melukai perasaan orang lain tentu tidak terlupakan hingga maut menjemput.

Tanpa lidah kita tidak akan bisa menjilat luka sendiri sebagai obat alami, bahkan tidak akan mampu meludah tanpa diciptakan lidah. Jilatan lidah bukan semata-mata urusaan lidah dan ludah. Tapi menjadi urusan tubuh secara keseluruhan hingga menjadi perkara etika. Motifnya bermacam-macam. Intinya, ada “yang menjilat”  dan ada “yang dijilat” atau penjilat.

Peribahasa juga menuliskan berkata peliharalah lidah, berjalan peliharalah kaki mengandung makna “berbicara hendaknya berhati-hati agar tidak salah ucap, berhati-hatilah dalam segala tindakan agar tidak menorehkan luka” tersirat maupun tersurat lidah senjata paling mematikan dibanding senjata pembunuh jenis apapun. Bila diperhatikan di dunia politik maupun pemerintah, pengertiannya bahwa penjilat adalah mereka yang gemar bersilat lidah untuk mencari muka agar mendapat pujian dari “yang terjilat” meski disitu termuat makna etik yang tidak pantas.

Lidah itu tidak mengenal saudara maupun kawan, sebuah kepalsuan dan pandai memikat hati baik kawan maupun lawan, orangnya cerdik namun hatinya tidak jujur bak “kebenaran diujung lidah” tidak ada lagi kebenaran darinya, tidak memiliki keberanian lagi. Sebab modal pokok perilaku ini adalah kepalsuan hakiki. Dengan kepalsuan itulah aksi jilat-menjilat dilancarkan, demi tercapai tujuannya sesembahan sekalipun dilakukannya. Dan kita ketahui bersama kepalsuan di dunia ini, entah yang nampak maupun tidak nampak nyaris serupa,hingga kitab suci sekalipun menolaknya.

Senda gurau, santun menyapa, menunjukkan sikap seolah menerima an sebagainya yang pada intinya lidah mengatakan “Asal Boss Senang” siapa pimpinan yang senang tersebut? Dialah yang terjilat, biasanya posisinya diatas dari yang menjilat. Jadi cara menjilat itu bergerak dari bawah keatas, bukan dari atas ke bawah. Tentu diliputi rasa bangga atasan jilatan tadi, karena ia menyimak apa yang nampak saja, namun gagal menangkap apa yang nyata sesungguhnya. Yang tersurat terlihat yang tersirat tak terselak.

Kekuasaan yang dibangun atas dasar pondasi penjilatan persis menyusun sebuah konstruksi gedung yang terbuat dari kertas kardus. Berdiri sekejap, kehancuran menghampiri. Untuk saat ini menjilat tidak sekedar terlihat di dunia nyata, aksi jilat-menjilat dapat disaksikan pula di dunia maya melalui emoticon menjilat pada media sosial, keren kan!.

Akhirnya, jilat-menjilat menjadi semacam simbol suatu komunitas, dilakukan secara massal dan berlangsung dimana-mana. Tidak semudah mengatakannya kekuasaan berlandaskan perilaku jilat-menjilat harus disingkirkan, bahkan bila perlu jihad hingga titik darah penghabisan memeranginya. Caranya? Coba tanyakan pada rumput yang bergoyang. pastinya Hanya Alloh SWT yang tahu jawabannya.

Wallahu A’lam Bishowaf.

Makassar, 8 Januari 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun