Jika kalau diibaratkan sebuah pohon, pengembangan pelayanan pepustakaan berbasis online hanya menangani daun yang rusak karena akarnya busuk. Selama akarnya tidak diobati, selalu akan bermunculan daun-daun yang rusak. Mengobati akar, atau kalau sudah tidak bisa dikembangkan secara didgital, tutup merupakan pilihan, karena domain perpustakaan sebagai tempat baca beralih fungsi. Hiburan boleh agar hidup tidak monoton, bukankah saat brifing atasan sendiri pernah mengatakan, “Penggabungan dua kementerian diharapkan kinerja staf lebih kompetitif, mereka pandai-pandai, kapan tidak dimulai sekarang, maka akan di bully” katanya. bukankah tanpa dukungan moral dari atasan, kreativitas SDM yang telah dibekali oleh pihak Perpustakaan Nasional R.I mati suri.
Niatan awal untuk konsultasi ke sebuah induk literasi pusat atau disapa Perpustakaan Nasional R.I. beberapa kali sempat saya tolak hingga memicu rasa ragu tatkala berangkat, meski pada akhirnya menginjakkan kaki di Jakarta. Selain kesehatan ujung-ujungnya pasti berantakan, tidak sesuai motivasi saat melakukan perjalanan dinas, hal tersebut saya rasakan sebagai peringatan sebelum berangkat pada 14 Desember 2016 lalu, dan itu terbukti.
Kehadiran kami langsung disambut Ketua Perpustakaan Nasional, sekiranya beliau sangat antusias bahwa masih ada pegiat-pegiat pustaka untuk datang dan mempelajari ilmu perpustakaan, khususnya berbasis IT, sebagaimana perkembangan IT begitu pesat hingga saat ini. Disana kami mempelajari aplikasi Open Sourche Integrasi Library Sistem (sistem manajemen berbasis web), kebanyakan orang lebih memilih ke tempat lain yang lebih “menjual” ketimbang mengenal software tersebut. Maklum kebiasaan di Perpustakaan kami input konvensional merupakan jalan terbaik, dibanding memilih migrasi berbasis website.
Konvensional tersebut bagi kami sudah biasa, akan tetapi menjadi “tertawaan” ketika berhadapan dengan perpustakaan berbasis IT. Integrasi Library Sistem itu apa sih, setelah melihat langsung barulah kami tersadar dari tidur panjang, bahwa aplikasi ini sangat cocok diterapkan di Perpustakaan khusus lembaga pemerintah, mengapa? selain gratis, penggunaannya pun tidak sesulit OS lain, terutamaa saat instalasi, kami orang awam tidak diribetkan dengan urusan script, tanpa anggaran pun layanan digital ini sudah mampu diimplementasikan sepulang dari pembekalan. Integrasi Library Sistem merupakan perangkat lunak (software) aplikasi otomasi perpustakaan yang dibangun dan dikembangkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) sejak tahun 2011.
Seiring dengan perkembangan dunia perpustakaan, khususnya di Indonesia, Perpusnas memandang perlu untuk memfasilitasi semangat pengelola perpustakaan diseluruh daerah untuk memulai menerapkan otomasi perpustakaan menuju terwujudnya perpustakaan digital, maka Perpusnas berinisiatif untuk mendistribusikan perangkat lunak ini dalam versi yang lebih ringan.
Harus adil memang ketika ingin memutuskan budaya konvensional bermigrasi digital dibutuhkan perangkat tersendiri, tidak tercampur komputer lain berisi file-file penting atau folder foto-foto pribadi, foto kegiatan, lagu-lagu, youtube, jangan dibolak-balik, melapor saat ada permasalah sepele yang seharusnya bisa diselesaikan sendiri. Baru tahap uji coba saja sudah “kacau”, dilakukan untuk dukungan internal IT jarak jauh membantu sesama atau layanan dukungan pelanggan menggunakan remote teamviewer, tidak ada tujuan merecoki, mengintip atau mengganggu target kinerja, ekstrimnya “tidak bisa kerja” karena diremote.
Terkait pembayaran Tukin bulanan selain kehadiran dituntut melaporkan hasil kerja harian, ini membahayakan kredibilitas orang itu sendiri, bagai boomerang prosentasinya lebih banyak open sosmed atau shopping online, youtube dan kesibukan lain dan menyita target pekerjaan hariannya. Akibat asal lapor tanpa klarifikasi terlebih dahulu sesama petugas tentu menimbulkan kesalah pahaman. Keoanikan akan melahirkan tindakan yang sebelumnya tidak pernah dilakukan, wajar kok namanya manusia tidak ada yang sempurna meski berusaha sempurna dihadapan orang lain. Sebab NilaSetitik Rusak Susu Sebelanga, sesuatu yang kecil tidak usah diperbesar, yang sudah besar tidak perlu di dramatisir.
Paradigma perpustakaan khusus lembaga pemerintah sebagai “gudang buku” sudah menjadi patron, dimanapun itu. Mudah-mudahan tidak ada lagi keluhan-keluhan setelah dibekali oleh-oleh berharga berupa open source gratis dari Perpustakaan Nasional RI dalam rangka menghimpun koleksi nasional dalam jejaring Perpustakaan Digital Nasional Indonesia, membantu upaya pengembangan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi mengacu pada regulasi :
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan;
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan;
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1990 Tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Rekam
Mengumpulkan pegiat pustaka untuk bersepakat pada satu tujuan merupakan tantangan besar, terutama dalam peradaban informasi tempat fikiran dan tindakan terfragmentasi, sesuai filosofi digitalisasi. Namun selalu mendapat benturan dari berbagai pihak, tanpa didukung programer yang mengelola pola kerja open source. Hal ini merupakan kolaboratif dengan kode pemrogram perangkat lunak yang dikembangkan pihak Perpustakaan Nasional dengan user. Salah satunya OS ini, bagi saya begitu asing, dibutuhkan familiarisasi lebih inten untuk mempelajarinya. Harus kerja tim tidak bisa dilakukan ketika mengedepankan ego kepentingan, karena pekerjaan ini dibutuhkan keroyokan.
Pada prinsipnya dibutuhkan upaya bersama, termasuk saling mengingatkan bukan menempuh cara “bunuh diri” terbaik, justru menjadi kartu AS bagi orang lain apabila kita menuntut perbaikan sistem manajemen perpustakaan, dianggap tidak cakap berinisiatif atas rangsangan kebaikan pimpinan untuk melakukan perjalanan dinas. Sumbangan fikiran, waktu, tenaga serta biaya diberikan selama proses instalasi, input database hingga online. Asal lapor sebaliknya jangan terulang agar sinyal pejabat yang berkompeten tidak berkurang terhadap perpustakaan.
Konflik internal bukan solusi terbaik, kesalah pahaman sebisa mungkin dihindari, hati boleh panas tapi kepala tetap dingin guna menghapus cibiran. Saya bukan manusia begawan, bukan pula manusia setengah dewa, buta dalam urusan IT. Dunia literasilah merupakan magnet bagi saya untuk terus terlibat didalamnya, selebihnya pasti mampir dengan sendirinya.
Memang tidak berlebihan bertahun-tahun sampai sekarang cita-cita mulia tertunda dari petugas perpustakaan itu sendiri, ditengah alerginya orang berkunjung ke perpustakaan, om google sesuatu hal mustahil untuk ditentang. Aplikasi gratisan kami pelajari ternyata tidak merubah pola fikir dan rasa memiliki begitu tinggi, sehingga beberapa kali konsultasi pun tidak akan membuahkan hasil alias berjalan di tempat, dengan alasan pekerjaan tertunda, dalih ketersediaan perangkat keras.
Jelasnya kalau lapor jangan asal, kalau asal tidak boleh lapor agar tidak melahirkan “bisikan-bisikan membius.” Tujuan share teamviewer yang digunakan untuk sharing dan remote access lewat jaringan internet, menuju era digital, atau sebaiknya tetap gunakan sistem konvensional saja, sekiranya masih berkaca pada era primitif.
Jika hal ini sudah disadari, kemudian dipahami, diharapkan inisiatif toleransi bersama, sudah pada uzur bukan berprilaku seperti anak-anak harus melaporkan keterbatasan fasilitas, optimalkan yang ada sambil menunggu “uluran tangan” dari pemegang kepentingan terutama dalam kaitannya untuk mengatasi sejumlah tantangan. “Kenapa tidak mencoba sebisanya. Daripada menyalahkan, lebih baik kita berbuat sesuatu, perlihatkan hasilnya, baru laporkan bukan sebaliknya.”!
Makassar, 24 Desember 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H