Predikat Kompasianer produktif yang Anis Kurniawan tuliskan dalam bukunya ‘Demokrasi di Sarang Penyamun’ sangat mengancam ketenangan hidup saya. Pasalnya penghargaan tersebut betapa besar yang meliputi kehidupan saya sebagai orang biasa yang dilabeli kompasianer produktif, padahal masih banyak kompasianer senior dengan jam terbang tinggi lain yang lebih berkompeten dan berbobot dari pada tulisan saya.
Capaian artikel baru 500-an, tulisan kompasiner lain mencapai 1000 bahkan nyaris mendekati angka 2000, mereka juga sering meraih penghargaan istimewa dari Kompasiana, bahkan sudah ada yang menerbitkan buku dari tulisannya tersebut, dan tulisan orang lain yang dikemas dalam bentuk buku, sedangkan saya pengelola pun “enggan” meliriknya, bahkan beberapa kali mengalami penghapusan artikel oleh Admin. Bahwa predikat ini sebuah kehormatan yang tiada ternilai dan sama sekali tidak disangka sangka.
Terkadang ada kalanya sebuah penghargaan bukan melulu soal materi dan “award” justru predikat dari sahabatlah penghargaan itu hadir. Anda tidak bisa memilih untuk selamanya meraih penghargaan dari satu sisi saja, melainkan dua atau tiga sisi lain diluar ekspektasi diri kita sendiri. Maksud Anis mewisuda gelar “produktif” bermaksud agar terlebih termotivasi dalam karya, khususnya tulis-menulis, sebuah niatan yang memang baik agar mengikuti jejak beliau membuat buku.
Meskipun tulisan saya tidak bemutu masih kalah jauh dari penulis-penulis populer seperti Moctar Lubis, Emerson Yuntho, Eko Prasetyo, Sindhunata, Alm. Dr. Mansur Semma hingga Mohamd Sobary, masih banyak lagi untuk disebutkan satu persatu, itu suatu kehormatan tersendiri. Akan sia-sialah hasil karya kita tanpa kehadiran pembeli, semua buku tersebut hanya sebagai “pengingat” dikala amnesia, hanya dianggap sebuah rutinitas biasa saja. Disini pembeli/user memegang peranan penting, tanpa mereka buku-buku kita tidak ada harganya bak “sampah” ditengah kualitas intelektualitas tanpa batas, beda halnya apabila tulisan kita “booming,” begitu pula dengan royalti yang akan didapatkan ketika buku laris manis di pasaran.
Kehadiran buku karya Anis Kurniawan berjudul ‘Demokrasi di Sarang Penyamun’ menguliti skeptisme politik, dialektika bernusa bangsa dan masa depan demokrasi Indonesia.
“Lewat buku ini, Anis Kurniawan menjelaskan kondisi-kondisi politik sekarang. Hal-hal yang mungkin tidak diketahui masyarakat, dijelaskan dan dibahas tuntas di dalam buku ini,” Ujar Jessica Natalie Widjaya (Model, Aktivis dan Politisi Golkar DKI Jakarta).
“Tidak banyak buku tentang politik diulas dengan gaya bahasa yang ringan seperti dalam buku ini, penulisnya cukup piawai merenyahkan gagasan dari isu-isu politikmenjadi bacaan yang mengasyikkan. Membaca buku ini anda seperti sedang membaca cerpen,” Tulis Ayu Arman (a Biographer/tourism and cultural Indonesia Writter).
Anis Kurniawan sendiri seorang penulis, media konsultan, peneliti dan konsultan pemenangan politik. Pernah belajar sastra Jurusan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Makassar (UNM), karya sastranya pernah dimuat di sejumlah media massa. Menerbitkan kumpulan prosa berjudul “wajah dan Wajah” (2008). Ditahun yang sama mendapat undangan mengikuti temu pengarang se-ASEAN.
Kini, menjadi salah satu tim peneliti di PERKUMPULAN KATALIS dan sebagai konsultan media di beberapa tempat. Di Tulisan-tulisannya segudang tersebar di sejumlah media seperti TEMPO, Media Indonesia, Harian Fajar, Tribun Timur, Radar Sulawesi Selatan, Pedoman Rakyat, terpenting Anis juga bagian dari kompasianer aktif untuk isu-isu politik.
Iseng pernah saya bertanya kepada beliau, “pak Anis kok sudah jarang nulis di Kompasiana?” dengan sedikit senyum diplomatis, Anis menjawab, “Ada kalanya dimana kamu mendapatkan suatu tekanan/kesibukan yang hebat dari lingkungan. Keadaan tersebut mungkin juga dapat menurunkan semangatmu untuk melakukan apapun teramsuk menulis.”
Akan tetapi dibalik diplomatis jawaban tersebut, demi kredibilitas blog terbesar ini, juga sebagai sahabat, saya tidak akan mengungkap AIB “keengganan” beliau menorehkan pemikiriannya di Kompasiana.
Dari catatan pengantar Indra J Piliang, “Buku yang berisi kumpulan tulisan ini sangat menarikbagi siapapun yang ingin melihat carut marut, centang perenang, dan koreng bopeng di dunia politik. Dan buku ini bukan satu-satunya. Hampir setiap harinya kalimat-kalimat hujatan, hinaan dan cercaan terhadap dunia politik terpapar di medi massa, hador dalam media sosial, serta terucap di layar televisi dan radio. Hampir tidak ada lagi orang yang mampu menjadi pahlawan bagi dunia politik, sekalipun setiap saat kehadiran para pemimpin politik di segala level hadir, baik formal maupun informal."
"Buku ini layak dibaca di area pemakaman politik sebagaimana kita mungkin termasuk saya melakukannya setiap hari, ketimbang melakukan upaya yang serius guna menjadikan politik sebagai way of life yang menggairahkan."
Mengutip ungkapan Anis Kurniawan ketika memutuskan mengeluarkan sebuah buku politik sejumlah kawan menganggap betapa saya sedang salah jalan. Itu karena diawal saya berkelabat dalam dunia kampus, saya berlatar belakang Sastra. Diskusi-diskusi dan tulisan-tulisan saya sejak tahun 2002, melalui perihal sastra, seni, dan kebudayaan. Walau beberapa buah diantaranya, memang sejak lama sudah mulai menyentil domain lain khusunya politik.
Anis menuliskan, “Sesungguhnya saya tidak sedang melakukan migrasi dari satu fokus kajian ke fokus kajian lainnya. Pada saat mulai menghabiskan waktu lebih banyak membaca literatur mengenai politik, demokrasi dan kekuasaan saya menemukan bahwa sastra dan politik memiliki satu dimensi orientasi yang sama yakni sama-sama bicara nilai (value).” Tulisnya.
Bagian-bagian judulnya sangat menyentil pada logika berfikir tingkat dewa, terungkap kebinalan Sihir Bibir Trio Macan Membius Jokowi, halaman 65. Menjual diri (Jangan) Pilih Saya Karena Iklan, halaman 171. Kebusukan Kentut Koruptor, halaman 217. Gaya hidup Para Pelacur Tuhan, halaman 236. Menyembulkan rasa penasaran akan judul Polisi Minta Duit, halaman 241. Bahkan Ternyata Mesjid pun Bukan Lagi Wilayah Netral, Barisan Shaf Ditentukan Kelas Sosial Juga, halaman 250. Hingga Kebebalan yang Mendarah Daging, halaman 285 terungkap dalam buku ini. Dan itu benar sedangkan saya tidak betul.
Saya perlu mengapresiasi sikap jujur Anis tersebut, karena membutuhkan usaha yang keras untuk menghasilkan karya yang tidak instant dan tidak akan pernah diungkap penulis lain. Sebuah karya untuk sebuah kepercayaan.
Saya tidak akan bisa membalas kebaikan Anis atas predikat “Kompasianer Produktif” akan tetapi pertemanan yang solid dan langgeng, tidak saling memiliki rasa dendam. Kepercayaan diberikan kepada yang sudah dikenal cukup baik.
Penutup kembali saya mengutip tulisan Anis Kurniawan, “Mari berdo’a, kelak Tuhan membedakan aroma kentut koruptor. Misalnya dengan bau busuk yang cetar membahana. Agar siapa saja yang kentut seperti itu akan diseret ramai-ramai ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA)-sebagai sampah masyarakat. Bila begitu, siapa berani kentut di Parlemen?
“Keindahan ini akan selalu membuatku untuk kembali dimasa itu.”
Makassar, 28 November 2016
Makassar, 28 November 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H