Kisah heroik nan pilu ini memang sengaja saya angkat kembali ke permukaan meskipun kadaluarsa ditelan keangkuhan jaman, dibuang sayang. Tujuannya untuk memotivasi para atlet nasional kita, ketika berjaya dipuja, ketika kalah dicaci-maki “Menteri” bagai kekasih yang tak dianggap.
Kekuatan balap sepeda Indonesia tiga puluh tahun lalu, cukup disegani di kawasan Asia Tenggara bagai ‘macan asia,’. Julukan tersebut sekarang hanya pengantar tidur di malam hari alias macan ompong. Siapa sangka tukang becak ini mantan atlet Balap Sepeda Indonesia, lelaki paruh baya kini sudah berusia 65 tahun asal surabaya bernama suharto kini berprofesi sebagai tukang becak.
Ia pernah merebut medali emas pada ajang SEA Games Tahun 1979 di Malaysia untuk team time trial berjarak 100 kilometer, bersama ketiga temannya saat itu mampu mengalahkan tim sepeda Malaysia dan tim sepeda Thailand, dua tahun sebelumnya pada SEA Games 1977 yang berlangsung di Thailand Suharto menyumbang dua medali perak untuk kontingen merah putih dari nomor jalan raya beregu dan perorangan, kenangan menjadi juara SEA Games tidak pernah dilupakan Suharto, dalam kamar kostnya yang tidak seberapa luas hanya berukuran 2,5 x 3 meter ini Suharto menyimpan rapi medali dan piagam penghargaan yang pernah ia peroleh dari berbagai ajang balap sepeda nasional dan internasional.
Bapak tiga orang anak ini juga mengumpulkan kliping berita yang memuat keberhasilan tim balap sepeda indonesia, termasuk foto dirinya bersama Presiden Soehato, namun karena kondisi perekonomian indonesia yang sulit, pada tahun 1981 ia memutuskan pensiun dari hingar-bingarnya balap sepeda.
Untuk menyambung hidupnya ia beralih profesi sebagai tukang becak hingga kini, becaknya pun bukan punya sendiri, suharto harus menyewa becak milik tetangga seharga Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) per hari. Miris!, Sebelum menarik becak terlebih dahulu ia lilitkan balok kayu dengan menggunakan karet ban di perutnya agar tak nyeri saat mengayuh becak akibat Hernia yang di idapnya, penghasilan sehari rata-rata mendapatkan Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah), uang dari hasil menarik becak hanya cukup untuk makan keluarga kalau ada sisa ditabung untuk membayar kost.
“Mudah-mudahan atlet sekarang tidak mengalami nasib seperti saya, pemerintah bisa benar-benar memperhatikan nasib mereka ke depan. Prestasi tidak akan mudah meljit ke atas asal dia memikirkan itu, kalau pemerintah betul-betul memperhatikan nasib atletnya itu benar-benar bagus bagi kehidupannya.” Tutur Suharto.
Pemerintah sekiranya memberi perahtian dan jamian masa depan para mantan atlet seperti Suharto ini, agar bisa membantu meningkatkan prestasi generasi muda. Sepenggal kisah pilu dijalani mantan atlet sepeda nasional seperti suharto jangan sampai terulang pada masa Pemerintah saat ini.
Kini, perbedaan tersebut tampak pada pundi-pundi atlet berprestasi mereka relatif “matrealistis” bergelimang bonus miliaran rupiah, rumah megah, hidup terjamin hingga tujuh turunan, wajar sih.....memang kondisi yang mengharuskan seperti itu. Kalian sebagai atlet generasi sekarang jangan sampai mengalami kisah pilu seperti mantan atlet sepeda nasional Suharto, dipuji ketika masih berjaya, ditelantarkan saat tak berdaya bagai pepatah “habis manis sepah dibuang.”
Begitulah gambaran segelintir mantan atlet nasional yang pernah mengharumkan nama bangsa dan negara ‘Suharto’ namanya. Mereka seperti terbuang dalam kemalangannya, dimana sebuah peristiwa pilu menimpa para mantan atlet “lawas” nasional. Kira-kira di tempat yang semacam itulah, super hero bangsa ini terjerembab.
Makassar, 23 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H