Kisah diatas tidak mengandung unsur tendensius apapun, kepada siapapun tanpa mengungkit-ungkit sesuatu yang pernah diberikan kepada orang lain. Tegas, akan tetapi berkarakter jujur dan adil. Nabi Muhammad SAW jauh dari perbuatan bebal, ancam-mengancam, teror, benci, dendam, gila harta, gila jabatan, korupsi-kolusi-nepotisme, di dunia birokrasi kita mengenalnya "suka tidak suka."
Sudah menjadi kewajiban manusia-manusia yang mengaku-ngaku dirinya penasehat spiritual atau motivator untuk memotivasi dirinya sendiri sebelum menasehati orang lain, tanpa dendam kesumat.
Melihat fenomena masa kini, pantaskah manusia sufi/suci, penasehat spiritual, motivator disebut nabi, ketika masih mengagungkan materi? Ksatria itu lebih memaafkan seperti Rasululloh SAW.
Wallahu ‘alam bishowaf.
Makassar, 11 September 2016