Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Murid dan Ayah Pukul Guru, Simbol Gagalnya Pendidikan Moral Pancasila

12 Agustus 2016   10:33 Diperbarui: 12 Agustus 2016   10:40 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: https://m.tempo.co)


Peristiwa murid pukul guru adalah tabu, merupakan contoh konkrit betapa pancasila hanya simbolis ruang sekolah, tanpa implementasi nyata di kehidupan berbangsa dana bernegara. Sebagai masyarakat Makassar sekalipun berstatus “perantau” saya merasa kecewa dan meminta ma’af kepada khalayak umum atas insiden memalukan ini seharusnya bisa diselesaikan melalui komite sekolah sehingga tidak terpublikasi, hanya mencoreng kredibitas lembaga pendidikan sekaliber SMKN 2 Makassar, apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur duka nasional telah menjadi konsumsi media.

Seorang bernama Dasrul seorang profesi guru SMKN 2 Makassar jurusan Arsitek dianiaya oknum murid dan orang tua bernama Adnan Achmad (43). Penganiayaan yang dialami Dasrul seketika menjadi viral berbagai media sosial. Pasalnya perilaku tersebut mencerminkan kemerosotan moral pendidikan anak bangsa. Hasilnya, publik mengecam tindakan arogan dan sewenang-wenang oknum murid dan orang tuanya tersebut.

Maka dari itu jangan didik anak dari kecil dengan penuh kemanjaan, apalagi sampai melupakan kesantunan, etika tata krama. Tahu berterima kasih jika dibantu sekecil apapun. Kelihatannya sederhana, tapi orang yang tidak punya attitude itu tidak akan mampu melakukannya.

Kejadian berawal sejak korban (Dasrul) memasuki kelas 2.2 kira-kira pukul 08.00 wita, seperti biasanya tepat mata pelajaran arsitek sang guru meminta para siswa mengeluarkan peralatan gambar berupa mistar, pensil dan buku gambar, salah satu dari murid berinisial MAS oleh guru-guru dicap sebagai murid bengal tidak membawa perlengkapan yang ditugaskan guru sebelumnya.

Lazim kita jumpai di sekolah manapun di indonesia guru menegur muridnya tidak membawa perlengkapan dimaksud, tidak terima teguran guru, anak ini lantas menghubungi orang tuanya. Orang tua MAS mendatangi sekolah tempat anaknya menimba ilmu. Sekitar pukul 11.30 wita Dasrul bertemu dengan orang tua murid, seketika tanpa penuh kesantunan, etika tata krama, reflek melayangkan bogem mentah ke muka Dasrul (guru teknik) hingga mengenai hidung sampai berdarah-darah, gilanya sang murid bukan melerai malah ikutan mengeroyok (10/8/2016).

Sikap premanisme Ayah dan murid (MAS) telah mencoreng dunia pendidikan ditengah kemelut kurikulum full day school, katanya mendidik karakter anak menjadi anak anak yang tangguh, disenangi, dan disegani banyak orang. Tidak dapat dipungkiri faktor stress, tertekan karena menumpuknya tugas-tugas dari sekolah, pemicu siswa tidak nyaman mengikuti proses belajar, bukannya menjadi pelajar sebaliknya menjelma menjadi pribadi liar, pemberontak tidak tahu tata krama bersikap dihadapan guru.

Guru sebagai merupakan suri tauladan yang baik bagi murid-muridnya setidaknya mampu menahan emosi, jaga sikap. Seorang pendidik adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dengan bangga kalau GURU TIDAK TAHU! ujar Professor Ng Aik Kwang dari University of Queensland. Pepatah “guru kencing berdiri murid kencing berlari” posisi guru tetaplah guru, sedangkan murid mampu menjadi siapa saja mulai profesi bromocorah, dokter, PNS, TNI/POLRI, hingga presiden semua karier tersebut proses mantan murid menjadi gagal ataupun sukses. Segala gerak-gerik guru selalu menjadi sasaran pelampiasan wali murid sekalipun benar posisinya, ringan tangan atau “killer teacher” memperlakukan murid jaman sekarang, sensitifitas menjadi taruhan publik.

Berdasar keterangan korban (Dasrul) terkenal guru paling sabar di SMKN 2 Makassar saat di interogasi polisi, “memukul wajah MAS karena siswa tersebut mengeluarkan kata-kata tidak sopan saat diminta mengerjakan tugas, bahkan murid keluar masuk ruang kelas seenaknya, tidak jelas mau belajar atau tidak, bahkan teguran guru tidak dihiraukan,” ujar Dasrul.

***

Ada apa dengan wajah pendidikan kita, sedang sdakit kah? murid-muridnya bertingkah bar-bar lancang memukul guru di area sekolah, tentu mengundang banyak kecaman. Anarkisme orang tua ini menandakan kegagalan hubungan baik antara wali murid dan wali kelas pihak sekolah. Hal ini menandakan bobroknya mental edukasi di tanah air, bongkar pasang kurikulum salah satu faktor pencetus robohnya pendidikan moral pancasila anak didik kita.

Mari berkiblat ke negara Finlandia yang ber-penduduk lima juta jiwa, luas wilayah lebih dari 330.000 km², terdapat 187.888 danau dan 179.584 pulau. Finlandia memiliki prestasi akademik tertinggi dari seluruh negara yang disurvei UNICEF pada 2007, mencakup membaca, matematika dan ilmu pengetahuan, ketersediaan buku, perpustakaan, majalah dan komputer.

Sebagai peringkat pertama negara terpelajar di dunia, penduduk tanpa pancasila, justru siswanya diperlakukan lebih pancasialis ketimbang indonesia yang begitu mendewakan pancasila, berprilaku anarkis. Para guru di Finlandia sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka, jika kita mengatakan “kamu salah” pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya.

Di Finlandia, anak-anak baru boleh bersekolah setelah berusia 7 hingga 14 tahun, cara belajar di Finlandia hanya 45 menit dan 15 menit istirahat, semua sekolah bebas dari biaya alias gratis sejak TK hingga tingkat universitas, sekolah swasta pun diatur secara ketat agar tetap terjangkau, semua guru dibiayai pemerintah untuk meraih gelar magister (S2), gaji guru termasuk dalam jajaran pendapatan paling tinggi, guru dianggap paling tahu cara mengevaluasi murid-muridnya, sehingga ujian nasional tidak diperlukan, siswa-siswi SD-SMP di Finlandia hanya sekolah 4-5 Jam/hari tidak ada sistem rangking, sistem pendidikan Siswa SMP dan SMA, sudah seperti di bangku kuliah

Bahkan semua fasilitas belajar-mengajar dibayar serta disiapkan oleh negara, siswa dapat menyelesaikan studinya hingga tingkat universitas, miskin maupun kaya semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk belajar serta meraih cita-citanya karena semua ditanggung oleh negara. Pemerintah tidak segan-segan mengeluarkan dana demi peningkatan mutu pendidikan itu sendiri, bukan di korup, asupan gizi di sekolah serta transportasi anak menuju ke sekolah pergi pulang semuanya ditangani oleh pemerintah, biaya pendidkan diperoleh dari pajak daerah, provinsi, serta dari tingkat nasional, guru-guru berkualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula, jika kebanyakan negara percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat menentukan bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru beranggapan sebaliknya, test tersebut justru menghancurkan tujuan belajar siswa, usia 18 tahun siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi, semua siswa dibimbing menjadi pribadi yang mandiri, mencari informasi secara independent, siswa yang telat mikir akan mendapatkan bimbingan khusus yang lebih intensif bahkan di Finlandia PR masih dapat ditolelir. Hal yang bersifat tidak membebani siswa inilah mendukung Finlandia berhasil menyandang gelar negara dengan pendidikan paling berkualitas di dunia.

Sekarang, dengan sistem pendidikan yang katanya lebih hebat dari sebelumnya, ternyata anak-anak tidak tersentuh peradaban budaya kita. Memang diajarkan tentang muatan lokal, namun kurang menyentuh ke aspek psikologi mereka. Akhirnya, anak-anak kita bakal menjadi generasi berkarakter bengis, individualis, egosentris, liberalis, feodalis, kapitalis, anarkis, hipokratis, anti sosial untuk mencapai tujuan sekalipun harus memukul. Mau jadi apa generasi seperti ini.

Mengutip pesan Anis Baswedan, “Bersyukurlah kalau kita terlahir di keluarga yang mengajarkan kita kesantunan, etika, tata krama dan kesederhanaan.”

Makassar, 12 Agustus 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun