Salah satu dari pemain kunci di dalam proses demokratisasi adalah kharisma para politisi. Dalam pengertian demokratis, mendapatkan prestise dan membawa aspirasi rakyat, bertindak sebagai perantara kekuasaan antara rakyat dan penguasa negara, dan mengadakan tawar-menawar dengan pendukung kekuasaan yang lain di dalam pikirannya terdapat kepentingan yang terbaik dari pemilihannya.
Sebagaimana ramai pemberitaan Risma bakal menjadi lawan tangguh bagi Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam memperebutkan kursi jabatan Gubernur, andai Risma datang ke Ibukota, apakah pesaingnya pada alergi. Tentu tidak, sesama manusia sama-sama makan nasi dan bersujud kepada sang pencipta, seolah didramatisir bahwa Risma bakal menang.
Penduduk Jakarta tentu jeli memilih balon gubernur, modal utama menarik simpati masyarakat bersikap, arif, rendah hati, berwawasan luas. Apabila pimpinan tidak arif dan kurang berwawasan, akan mengakibatkan salah pilih orang untuk menduduki jabatan tertentu. Dalam kancah politik bisa terjadi yang kurang baik terpilih sedangkan yang baik tersisih. Seandainya hal ini terjadi bukan pimpinan bersangkutan saja yang rugi, tetapi seluruh organisasi akan menerima dampak negatifnya. Apabila kondisi seperti ini terjadi di organisasi penmerintah maka yang akan menerima getahnya meliputi wilayah yang lebih luas.
Ada apa dengan Tri Rismaharini akrab disapa Risma Walikota Surabaya. Kok belakangan menjadi momok mengerikan bagi kompetitor, apa karena beliau arif, cerdas, berwawasan luas dan lugas sehingga dianggap menjadi kuda hitam dalam pilgub DKI Jakarta tahun 2017.
Tentu ingat penggalan lagu group band indonesia KOES PLUS berjudul ‘Siapa suruh datang Jakarta’ tidak ada larangan siapa pun gubernur DKI Jakarta, karena Jakarta bukan milik pribadi atau golongan melainkan punya orang indonesia yang mengadukan nasibnya di Jakarta. Semua agama, suku bangsa tumpah ruah disana berhak mencalonkan diri sebagai gubernu DKI, termasuk Risma, Yuzril, Djarot Saifulloh (wagub DKI), Ahmad Dani, Sjafrie Sjamsoeddin, Budi Waseso (Ketua BNN), Adyaksa Dault, Rizal Ramli, Sandiaga Uno, semua berhak mebenahi Jakarta. Kita bisa berkaca kepada Jokowi belum lama menjadi Gubernur DKI, mantan Walikota Solo ini terbang begitu tinggi naik tahta mempin negara alias Presiden Republik Indonesia, siapa yang menyangka beliau Presiden, bila dikait-kaitkan kebetulan Jokowi dan Risma kader terbaik PDI-P dibawah kendali puteri Presiden RI pertama Megawati Soekarno Puteri.
Partai merupakan tunggangan strategis politisi mencalonkan kadernya memasuki ranah birokrat, mustahil menang tanpa modal besar maju melalu jalur independen, contohnya gubernur petahana Ahok awalnya berdiri pada jalur independen bersama Teman Ahok, target satu juta KTP sebelum menuai polemik, akhirnya memutuskan menerima pinangan beberapa partai. Hal ini tentu berlaku bagi kompetitor lain bersaing secara sehat, jujur, adil tanpa ada unsur jual beli suara. Usungan Partai PDIP ini, juga datang berbagai komunitas lokal, bahkan Relawan Tri Rismaharini di Jakarta (Jaklovers) menyempatkan diri ke Surabaya untuk meminta izin arek-arek Surabaya untuk maju sebagai bakal calon DKI-1.
Tentunya kehadiran Risma bakal memanaskan suhu politik Pilkada DKI Jakarta disambut baik oleh Ahok, sembari berkelakar mengatakan, “saya kira itu bagus ya, sebagai ibukota negara perkembangan politik Jakarta menjadi perhatian seluruh wilayah di Indonesia. Semakin banyak pemimpin potensial yang mencalonkan diri di Jakarta semakin bagus,” kata Ahok.
Lebih lanjut, “orang jakarta jadi punya pilihan banyak yang diuntungkan orang Jakarta, kalau Cuma pilih saya sendiri kan rugi dong,” ujar Ahok.
Risma merupakan sosok berkompeten untuk menjadi calon gubernur DKI Jakarta, pesona saja tidak cukup kompetensilah menjadikan walikota Surabaya mampu mengulang sukses walikota Solo. Kehadiran Risma jangan dijadikan kekhawatiran, justru akan menambah semarak pilgub DKI-1. kekhawatiran kompetitor terhadap Ahok terpilih sebagai kandidat kuat kembali memimpin Jakarta. Sepertinya mengatasi paranoid tersebut Risma didorong menjadi batu sandungan bagi Ahok maju ke Pilgub, sebagaimana jejak suksesor kompatriotnya (Jokowi) di “panggung” politik kader partai berlambang kepala banteng bermoncong putih tersebut.
Kekhawatiran kompetitor terhadap kehadiran Risma memang beralasan. Kartini satu ini merupakan sosok tangguh, nadanya ceplas-ceplos, emosional, bertaji membawa kesuksesan memimpin Surabaya, bahkan namanya masuk peringkat ke tiga penghargaan walikota terpuji di dunia versi World Mayor pada 2015 lalu. Posisi pertama diraih Naheed Nenshi walikota Calgary Kanada, dianugerahi The 2014 World Mayor Prize, posisi kedua disabet walikota Ghen, Belgia Daniel Termon diberi penghargaan The World Mayor Commendation for Service to Europen Cities. Sedangkan Tri Rismaharini diganjar The World Mayor Commendation for Service to the City of Surabaya, Indonesia.
Terpilihnya Tri Rismaharini sebagai walikota terpuji versi The City Mayor Foundation bukan karena tebar pesona belaka, melainkan menarik perhatian nasional dan internasional dalam mempromosikan kebijakan sosial, ekonomi, dan lingkungan dengan penuh semangat di Surabaya. Sejak Risma terpilih sebagai walikota Surabaya pada 2010, kini mempunyai sebelas taman kota terbesar dengan berbagai konsep. Bahkan beberapa diantaranya memiliki akses Wi-Fi, Perpustakaan serta fasilitas olahraga lainnya, juga dianggap berhasil memperbesar ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai serapan air.
World Mayor merupakan sebuah organisasi nonprofit yang bertaraf internasional. Organisasi tersebut mendorong terciptanya sistem pemerintahan yang baik. makanya seakan beliau ingin meniti karier lebih tinggi dikancah politiknya di Jakarta. Entah sengaja atau tidak kabar tersebut menjadi isu utama berita. Padahal, melihat geuster Risma, sepertinya tidak ada niat sedikit pun akan meninggalkan Surabaya.
Kalau dicerna secara jernih, sepertinya masih banyak pekerjaan rumah ibu Risma tak ada indikasi isyarat akan meninggalkan Surabaya. Meski begitu, namanya politik syah-syah saja. Menurut pengakuan Risma sendiri di media, “bahwa jabatan merupakan amanah.” Saat ini, dirinya dipercaya memegang amanah dari warga Surabaya sebagai Walikota, untuk itu, jabatannya akan dituntaskan hingga tahun 2020 mendatang.
Posisi Risma memang sangat dilematis, satu sisi ingin menuntaskan amanah warga Surabaya, sisi lain dirinya merupakan mengaku sebagai petugas partai yang harus selalu siap menjalankan perintah partainya. Kendati ia berulangkali menyatakan menolak menjadi lawan bagi Ahok, namun, politik serba sulit untuk diterka. Semua tergantung kadernya. Pilih rakyat yang sudah memilihnya atau tergiur tawaran partai pengusungnya.
Setiap ada isu penggantian seorang pimpinan selalu menjadi perhatian publik. Apalagi kalau issu pergantian itu menyangkut kepemimpinan yang berkaitan dengan kekuasaan menjadi lebih seru, seperti pemilihan bakal calon gubernur DKI Jakarta dan bahkan penggantian presiden dan wakil presiden beserta menteri-menterinya. Tergantung wilayah kewenangan dari suatu kepemimpinan, maka luas wilayah isu kadang-kadang menyertainya pula.
Tanpa bertatap muka dengan ibu Risma, saya yakin beliau itu sosok berkarakter amanah menjalankan tugas, rakyat sudah memilih andai tergiur menerima tawaran partai, tentu akan menuntaskan masa baktinya hingga tahun 2020 mendatang.
“Pimpinan harus membuat segala sesuatunya menjadi benar, berjuang untuk memenuhi tugas dan kewajibannya, serta menyelesaikan tugas-tugasnya tanpa berpura-pura” (Sofjan Sudardjat).
Makassar, 6 Agustus 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H