Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa Melalui Dongeng “Kalau yang Enak Didahulukan”

5 Juni 2016   08:12 Diperbarui: 5 Juni 2016   08:37 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Almarhum Drs. Suyadi alias Pak Raden, memang telah tiada tetapi karyanya akan selalu dikenang sepanjang masa. Pemerintah harus mengapresiasi royalti sepadan karya beliau, sosok multitalenta banyak kisah anak-anak dia torehkan dalam bentuk buku. Puluhan buku anak-anak telah terbit meski saat ini mulai jarang dijumpai, ceritanya enak buat dibaca, diantaranya: Siapa punya kuali panjang, Kalau Yang Enak Didahulukan.

Buku anak-anak, buah tangan almarhum tentu mempunyai misi, sangat disayangkan misi beliau kalah cepat oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi, dampaknya malas membaca buku kian membudaya, adanya kemajuan teknologi tersebut mempermudah mengakses konten-konten apa saja bahkan diluar nalar anak-anak. Seperti kita ketahui bersama bahwa karakteristik bangsa tanpa ilmu pengetahuan ibarat manusia tanpa otak alias mayat hidup,  iman dan takwa generasi muda banyak terjerumus pergaulan bebas, pada ujungnya melahirkan brutalism cenderung anarki sepert bukan manusia; mabuk-mabukkan, narkoba, pelacuran, pemerkosaan, pembunuhan hingga saking canggihnya dunia internet memamerkan kemolekan tubuhnya melalui media online dengan tarif fantastis. Heran juga!, seumuran saya dulu, ketika menyaksikan wanita mencuci di pinggiran sungai hanya memakai kemben (jarit) atau sarung setengah telanjang dada aman-aman saja, tidak ada pemberitaan bahwa telah terjadi pemerkosaan terhdap wanita di sungai.

Ada apa dengan “moral” pendidikan sekarang ini? Kemajuan teknologi tidak semuanya mencakup pada kebaikan moralitas, terkesan proyek asal jalan dana terserap, tidak memikirkan kecerdasan bangsa namun lebih mengejar keuntungan semata.

Agaknya riset John Miller, presiden Universitas Central Connecticut State di New Britain, sudah tepat menempatkan Finlandia negara paling terpelajar di dunia. Riset berdasar pada hasil ujian Literasi dan "karakteristik sikap terpelajar" misalnya jumlah perpustakaan, koran, buku, majalah, lamanya sekolah serta ketersediaan komputer pada tiap negara. Mr. John Miller menempatkan indonesia sebagai negara terpelajar pada peringkat-60, mulai mendekati kenyataan. Ini bukan sekedar peringkat abal-abal tentu ada korelasinya dengan tragedi menyayat hati belakangan marak terjadi.

Konteks karya Almarhum Drs. Suyadi. “Kalau Yang Enak Didahulukan”. Sebuah dongeng fiksi, syarat akan filosofi nilai-nilai kejujuran, hikmah seorang pemuda, sehat bertenaga, namun “pemalas” maka akan merugikan diri sendiri.

Kisah ini hanyalah fiktif belaka, andai kata ada kesamaan nama dan tempat kejadian, itu tanpa ada unsur kesengajaan.

Alkisah seorang pemuda tuna karya bernama Acim menginginkan hidup enak dan nyaman secara instant tanpa susah payah banting tulang peras keringat. Dengan segala halusinasinya Acim mendatangi sebuah rumah paling besar nan kaya raya yang memiliki ladang yang luas. Petani kaya raya tersebut bernama pak Udi.

Tidak lama melangkhkan kaki, Acim berhasil menemui Pak Udi dan Bu Udi meminta pekerjaan. Guna meyakinkan pemilik ladang, Acim berujar “saya minta pekerjaan, kuat mencangkul, dan pandai berladang.”

Dengan segala hasutannya diterimalah pemuda tersebut sekaligus dijadikan anak semang oleh pak Udi beserta istri, diperbolehkan makan dan tidur, syaratnya mau menggarap ladang.

Pak Udi membawa Acim memperlihatkan ladang, sembari menunjukkan luasan batas ladang menggunakan tongkat. “jika engkau mau mengerjakan ladangku, maka hasil panen akan kita bagi dua, setuju?” kata pak Udi. Tanpa banyak ucap Acim pun mengangguk tanda setuju.

Keesokan harinya, pagi-pagi buta pak Udi membangunkan Acim untuk berangkat ke kebun dengan memberi sekantung bibit biji jagung dan sebuah cangkul. Sedangkan istri pak Udi membawakan bekal buat makan di ladang.

Tidak dibutuhkan waktu lama tibalah Acim di ladang, bukannya menuaikan tugas dari pak Udi untuk menggarap ladang Acim malah sibuk berfikir mendahulukan makan lalu minum di dekat ladang yang terdapat sumber mata air sungai yang jernih dan beristirahat, sehabis ini “aku akan bekerja keras,” kata Acim.

Rasa kantuk menghinggapi Acim setelah merasa kenyang, angin sepoi-sepoi dibawah pohon rindang membuat Acim terpulas, hingga matahari terbenam. Tertundalah tugas Acim mencangkul ladang pak Udi, “bukankah masih ada hari esok untuk bekerja,” ujarnya.

Menjelang senja pulanglah Acim dengan cangkul dipundak dan rantang kosong. Tanpa pikir panjang ditinggalkannya kantong berisi bibit jagung, agar tidak kantung yang masih penuh biji benih jagung. Malam beranjak larut pertanda waktunya istirahat, agar segar melanjutkan aktivitas esok hari.

Kebodohan Acim tergamabr nyata saat mengulang kebiasaan kalau yang enak didahulukan pada hari kedua. Mendahulukan makan, beristirahat lantas kerja menggarap ladang milik pak Udi. Seperti kemarin, Acim setelah makan rasa kantuk menghampirinya sehingga usahanya berladang jagung di milik pak Udi kembali tertunda, selalu memegang prinsip “mencangkul dapat kulakukan besok”.

Pulang dengan tangan hampa, letih seharian memejamkan mata terbangun selalu menjelang gelap, Acim tidak pernah mencangkul ladang. Hari selanjutnya masih sama seperti kemarin, selalu memulai aktivitas berkebun dengan makan, istirahat, pulang menjelang senja, tidak satu benih jagung sempat ditanamnya. Ditangguhkannya menanam jagung seperti amanah pak Udi.

Hari berganti hari bulan berselang menjelang. Acim selalu saja melakukan kebiasaan serupa, tanpa mencangkul tanah sejengkal pun. Tiga bulan telah berlalu, pak Udi antusias akan hasil pekerjaan Acim. Pak Udi menaruh harapan hasil panen jagungnya melimpah. Bersama Acim pak Udi ingin sekali melihat hasil kerjanya. Acim tidak bisa menjawab, badan gemetar muka pucat pasi, menutupi rasa bersalahnya. “Ayo, kita sama-sama ke ladang,” ujar pak Udi kepada Acim. Lalu mereka berangkat bersama menuju ladang jagung. Sesampainya di ladang, dengan terheran-heran pak Udi hampir tidak percaya, ia pun memeriksa tanah ladang secara teliti. Betapa terkejutnya pak Udi tidak setunas pun muncul dari tanah yang kering kerontang itu,  kantung berisi benih jagung masih utuh di biarkannya di ladang hingga tiga bulan lamanya.

Hilanglah kesabaran pak Udi, “pemalas!!! Enyah kau dari sini!”. Setiap hari hanya bermalas-malasan. Untuk itukah engkau kuberi makan dan tempat tinggal?, “pergi dan jangan coba kembali lagi!, Geram pak Udi terhadap Acim.

Sejak kejadian itu Acim meninggalkan rumah pak Udi, bahkan kehilangan pekerjaan. Ia menyesali perbuatannya sehingga merugikan diri sendiri, badan sehat, tubuh kuat, namun malas. Apa hendak dikata nasi sudah menjadi bubur, tidak ada ceritanya menyesal datangnya dahuluan. Menyesal datangnya selalu belakangan. Merusak kepercayaan pak Udi terhadap Acim. Ya, begitulah “kalau yang enak didahulukan” tidak menghasilkan apa pun yang pantas dibanggakan.

Dari kisah “kalau yang enak didahulukan” bisa disimpulkan bahwa perilaku malas, banyak alasan akan membawa kita kepada kerugian tidak disukai banyak orang.

Malas memang menuai kebencian, dan tidak disukai semua orang, termasuk atasan atau boss kita. Perihal malas di jaman moderen seperti ini, memang sangat tidak menguntungkan hanya dipandang sebagai “sampah masyarakat.” Meski perekonomian indonesia mengalami defisit, setidaknya jangan sampai melakukan cara-cara licik untuk meraih keuntungan. Pada intinya ketidak mampuan ekonomi secara absolut kita jangan melakukan konspirasi meraih kemakmuran superioritas, masih banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan uluran tangan dalam mempertahankan asap dapur tetap mengebul.

Kalau yang enak didahulukan merupakan salah satu karya Alm. Drs. Suyadi yang melegenda, keberadaannya mulai langka. Serbuan monopoli buku bacaan berbanderol selangit, turut mematikan cerita rakyat indonesia.  Hingga kini minat baca masyarakat, masih saja rendah, seiring kemudahan bacaan digitalisasi yang tersedia di dunia maya.

Akhirnya, mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan misi yang mustahil atau mission impossible. Tergantikan tontonan-tontonan mengerikan berbau pembunuhan, predator anak, pedofil, anarki, brutal lumrah kita jumpai melalui pemberitaan cetak maupun online.

Buku-buku murah berkualitas makin terbatas, membaca dilarang, menulis adalah sebuag petaka, bicara bukan kelaziman, sedangkan peluru merupakan senjata ampuh untuk membunuh aktivis litaerasi, buku hanyalah benalu (David Efendi-Aktivis Literasi).

Sekeras-kerasnya kita tertawa kembalinya kepedihan juga. Karena sejauh mata memandang yang tampak adalah wajah kemiskinan dibarengi kebodohan kita. Sehingga kita kebingungan harus berbuat apa, menolong atau menertawakannya.

Sadis!

Tambahan:

Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2016.

Mari sambut dengan tekad untuk memerangi perdagangan ilegal satwa liar- (Go Wild For Life).

Makassar, 5 Juni 2016

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun