Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Budaya Bebal Cetar Membahana!!!

16 April 2016   17:19 Diperbarui: 17 April 2016   08:15 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"][/caption]Tanpa disadari, hampir kebanyakan kita adalah orang-orang bebal yang tidak taat pada sebuah aturan dan slogan yang menghiasi keseharian kita. Bayangkan, sepasang lampu lalu-lintas hanya sebagai penghias jalan raya, berkarat dan tidak terawat tetap kokoh berdiri, entah sampai kapan traffic light tersebut akan tersentuh tangan instansi yang berkompeten untuk memperbaikinya. Padahal aktivitas traffic ligh sangat membantu kelancaran arus lalu lintas kendaraan.

[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"]

[/caption]Mau tidak mau membuat aparat turun gunung sibuk “melambaikan tangan dengan peluit” mengatur lalu lintas jalanan, betapa celakanya kita sebagai manusia pengguna jalan, bahkan kendaraan berpenumpang yang bersinggungan tanpa adanya lampu lalu lintas atau traffic light pada area padat kendaraan. Padahal, kucuran dana proyek pendirian lampu lalu lintas setiap tahunnya tidak sedikit, dasar budaya bebal bangsa kita kian cetar membahana, hanya karena mati surinya lampu lalu lintas sebuah tanda “diserobot!”

[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"]

[/caption]Akibatnya terjadilah kesemerawutan kendaraan serta membeludaknya manusia, hingga menimbulkan kecelakaan tanpa sadar kita menyaksikan betapa banyak orang justru bebas menyerobot kode rambu-rambu lalu lintas disetiap pinggir jalan protokol bahkan tidak ada yang mau menyalahkan menguasai jalan ditengah kemacetan. Pemandangan lain dekat rumah saya, sebuah mobil butut, karatan sengaja dibiarkan terparkir depan lorong sempit, tanpa ada inisiatif dari sang pemilik, sehingga jika mobil berpapasan salah satu harus mengalah/mundur demi menghindari senggolan. sungguh pemandangan kebebalan nyata didepan mata.

[caption caption="Dokumen Pribadi/subhan riyadi"]

[/caption]Di pinggiran jalan yang ada tulisan “dilarang buang sampah” justru disekitarnya ada sampah berserakan. Di jalan raya, orang-orang melanggar rambu-rambu lalulintas sepertinya sudah terbiasa, dari yang melawan arus, parkir sembarangan, hingga ugal-ugalan di jalan raya. Di negeri ini, “melanggar aturan” memang membudaya, justru di tengah upaya keras Negara mengkampanyekan diri sebagai Negara Hukum, berlaku namanya “hukum rimba.”

Kebanyakan kita terbiasa “berkhianat” pada aturan atau anjuran di ruang publik. Slogan-slogan dengan teks-teks berbau peringatan atau dengan pesan tertentu, pelan-pelan dicabut “kebermaknaannya” sehingga kata-kata itu menjadi hampa dan tidak lagi sakral. Lihat saja, betapa ketidaktaatan pada suatu slogan dimulai dari kantor-kantor pemerintahan bahkan di institusi pendidikan.

Di kantor polisi misalnya ada tulisan “kami siap melayani dan melindungi masyarakat” tetapi entah mengapa, kita akan selamanya paranoid dengan namanya polisi. Bahkan, seringkali kehadiran polisi di suatu tempat akan menjadi peristiwa yang amatlah mencekam. Di kantor pemerintahan, kita menyaksikan betapa banyak banyak slogan tentang “stop korupsi dan anti suap” tertempel di mana-mana, tetapi budaya suap dan korupsi justru kian subur makmur gemah ripah loh jinawi.

Dan peristiwa pengkhianatan paling mengerikan terjadi di sekolah, kampus, bahkan di tempat ibadah. Bayangkanlah, bagaimana korupsi dana BOS masih menggurita di sekolah-sekolah, padahal di seragam anak-anak sekolah tertempel tulisan pesan moral “aku benci korupsi-aku benci narkoba” sebuah pesan berharga agar pelajar tidak rentan terjerumus dalam perbuatan terkutuk itu, justru NARKOBA merajalela menghinggapi kalangan narapidana, yudikatif, eksekutif, legislatif hingga aparat penegak hukum (tentara dan polisi), selebritis pun tak luput jerat narkoba, padahal pesan tersebut syarat akan nilai-nilai ilmiah seperti objektivitas, kejujuran, dan integritas. Lebih memprihatinkan lagi, beberapa pelaku kejahatan seksual pedofilia justru berkedok internasional di sekolah bertaraf internasional. Lagi-lagi budaya bebal telah merasuki berbagai kalangan tanpa mengenal kasta.

[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"]

[/caption]Konstruksi berpikir manusia modern rupanya sudah digerogoti oleh ilusi tentang kejahatan dan pengkhianatan. Seorang ibu yang susah payah melahirkan anaknya, lalu begitu hendak keluar rumah sakit, tega menjual bayinya seharga sebuah laptop bekas. Agak sulit menjabarkan secara logika, ada seorang ibu yang menderita sembilan bulan, lalu menukarnya seketika dengan materi yang tidak seberapa. Tetapi, sekali lagi, ilusi kebinatangan dalam diri telah terkonfirmasi oleh budaya massal yang terus terproduksi di ruang-ruang publik dan terutama melalui televisi dan internet.

                                                                                   ***
[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"]

[/caption]Dan, kebebalan menimpa diri saya, pada saat menunggangi kendaraan umum warna biru muda (pete-pete=makassar). Beberapa kejadian diluar akal sehat manusia sering saya alami. Betapa saya begitu menderita saat menumpangi kendaraan umum (pete-pete), mendapati sopir yang rata-rata perokok berat, ditambah agi ada salah satu penumpangnya yang juga perokok. Entah kemana otak mereka, abai!!! tanpa mempedulikan kesehatan penumpang lain “anti rokok” justru disuguhi asap rokok, dasar biangkerok!!!. pesan moral kritis pada kemasan rokok bergambar angker memuat tulisan “MEROKOK SEBABKAN KANKER PARU-PARU DAN BRONKITIS KRONIS” pesan lain mengatakan “MEROKOK DEKAT ANAK BERBAHAYA BAGI MEREKA” seolah membawa kita ke neraka bagi mereka yang berfikir. Saya menekankan para “perokok bebal” sekiranya hormatilah orang lain dengan merokok pada tempatnya, lalu kemudian buang puntungnya pada tempat sampah atau tempat yang aman, dikhawatirkan sisa buangan puntung rokok tersebut selain menimbulkan sampah, dampak lain adalah berpotensi penyebab kebakaran.

Pengalaman setiap pagi saat berangkat kerja selalu naik angkot/pete-pete, sepinya penumpang mempengaruhi unsur kesengajaan memperlambat laju kendaraan maju-mundur dengan memperhatikan setiap pejalan kaki yang lalu lalang di jalan, padahal belum tentu mereka naik angkot, dalam suasana terburu-buru berpacu melawan waktu serta menenggak obat, dan kesabaran itulah diuji melawan kerasnya watak beberapa sopir pete-pete (tidak semua menjengkelkan) namun kejengkelan adalah mutlak, pengertian hanya sebatas relativitas beradaptasi dengan jadwal “masuk kerja” kedongkolan belum berhenti sampai disitu, saya mencoba berkata “tolong dipercepat sedikit laju pete-petenya daeng, sudah telat masuk kantor”. Sang sopir bukan malah memberi empati atau melajukan angkotnya, ehh!! Malah sengaja berlama-lama ngetem sembari pura-pura menarik perhatian pejalan kaki. Ma’af profesi seorang sopir pete-pete sudah sepantasnya juga mengutamakan kepentingan penumpang. Tak kalah mendidihkan darah saya, sang sopir memberi jawaban memancing emosi “kalau mau cepat ki naik taksi saja!” sungguh sebuah perbuatan moralitas tidak berkelas, dengan jawaban seperti itu, beruntung saya masih bisa menerima keadaan keruh seperti ini, setelah turun membayar lalu pergi dengan uang recehan, itu pun masih dilihatnya baik-baik.

[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"]

[/caption]Ketika merasa pembayaran kurang dengan tampang sangarnya dari dalam pete-pete berteriak “kurang!!!” seperti biasa harga bahan bakar sudah turun saya bayar Rp. 3000,- s/d 3.500,- terkadang acapkali membayar Rp. 4000,- mengingat jarak yang tidak terlalu jauh jika dibandingkan jarak tempuh angkot di Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, bahkan masih saya dapati hanya Rp. 2000,- s/d Rp. 2.500,- saking kreatifnya ketika penumpang membayar dengan uang Rp. 5000,- tanpa pengembalian recehan, mereka langsung tancap gas, bagi saya ini budaya KURANG AJAR!!!. Agaknya, kesadaran untuk melakukan pembiaran terhadap hal-hal buruk dan berbau pelanggaran justru lebih mudah dilakukan. Ketimbang, mentaati nilai-nilai tertentu yang sebetulnya dapat berdampak positif bagi orang banyak.

Belum cukup sampai disitu perilaku egoisme kian menjamur, mungkin karena “urusan perut” mengorbankan sebuah etika atas kebenaran yang sedemikian mahal itu, sehingga negeri ini mengalami defisit negarawan. Bangsa ini krisis super hero, orang-orang yang berjuang keras menegakkan nilai-nilai kebenaran tidak punya tempat lagi di negeri ini. Mereka seperti terbuang dalam kemalangannya, dimana sebuah peristiwa kesemerawutan sebuah ibukota menjadikan “sebagian” manusianya berlagak seperti bangsa bar-bar, kasar, egois, gelap mata, dalam memberlakukan sebuah tanda-tanda lalu-lintas seperti tidak pernah berakhir. Kira-kira di tempat yang semacam itulah, super hero bangsa ini terjerembab.

[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"]

[/caption]Sebuah tanda zebra cross pemanfaatannya bagi penyeberang pejalan kaki diterabas tanpa memikirkan keselamatan nyawa orang lain. Maka, sebagaimana tatanan berlalu lintas traffic light sarana dan prasarana pemberi isyarat yang mengendalikan arus lalu lintas yang terpasang di persimpangan jalan, tempat penyeberangan pejalan kaki (zebra cross), dan tempat arus lalu lintas lainnya, dilanggar.

Realisasinya traffic light hanyalah onggokan besi tua, penghias titik-titik jalan sisa proyek akhir tahun. Keberadaan zebra kross inilah saatnya pejalan kaki di anggap bak raja jalanan. Tanpa harus di burui, tanpa rasa takut di tabrak. Melenggang santai saja seperti jalan itu milik sendiri. Mau menyeberang ramai-ramai maupun sendirian sama saja. Tetapi disini Makassar (indonesia) kesadaran itu masih RENDAH!!!, berpotensi SIAPA CEPAT DIA DAPAT.

[caption caption="Dokumen Pribadi/ Subhan Riyadi"]

[/caption]Dunia serasa sudah terlampau sempit buat dilalui pejalan kaki. Lalu Lintas kendaraan bermotor telah mendominasi di indonesia. Kenapa hal seperti ini terus menggurita, hingga tak satu pun celah tersisa ruang oksigen di jalan raya. Pekerjaan rumah kita dalam situasi yang semakin bebal ini adalah bagaimana menginstall ulang pikiran kita untuk memulai taat dan sensitif terhadap sebuah pesan dan sebuah kebenaran. Meski, semua juga tahu, bahwa kita adalah darah daging seorang Adam As, manusia pemberontak super bebal yang lantaran tergiur kemolekan buah quldi milik Siti Hawa—terlempar ke dunia yang penuh fatamorgana.

Makassar, 16 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun