[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"][/caption]Tanpa disadari, hampir kebanyakan kita adalah orang-orang bebal yang tidak taat pada sebuah aturan dan slogan yang menghiasi keseharian kita. Bayangkan, sepasang lampu lalu-lintas hanya sebagai penghias jalan raya, berkarat dan tidak terawat tetap kokoh berdiri, entah sampai kapan traffic light tersebut akan tersentuh tangan instansi yang berkompeten untuk memperbaikinya. Padahal aktivitas traffic ligh sangat membantu kelancaran arus lalu lintas kendaraan.
[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"]
[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"]
[caption caption="Dokumen Pribadi/subhan riyadi"]
Kebanyakan kita terbiasa “berkhianat” pada aturan atau anjuran di ruang publik. Slogan-slogan dengan teks-teks berbau peringatan atau dengan pesan tertentu, pelan-pelan dicabut “kebermaknaannya” sehingga kata-kata itu menjadi hampa dan tidak lagi sakral. Lihat saja, betapa ketidaktaatan pada suatu slogan dimulai dari kantor-kantor pemerintahan bahkan di institusi pendidikan.
Di kantor polisi misalnya ada tulisan “kami siap melayani dan melindungi masyarakat” tetapi entah mengapa, kita akan selamanya paranoid dengan namanya polisi. Bahkan, seringkali kehadiran polisi di suatu tempat akan menjadi peristiwa yang amatlah mencekam. Di kantor pemerintahan, kita menyaksikan betapa banyak banyak slogan tentang “stop korupsi dan anti suap” tertempel di mana-mana, tetapi budaya suap dan korupsi justru kian subur makmur gemah ripah loh jinawi.
Dan peristiwa pengkhianatan paling mengerikan terjadi di sekolah, kampus, bahkan di tempat ibadah. Bayangkanlah, bagaimana korupsi dana BOS masih menggurita di sekolah-sekolah, padahal di seragam anak-anak sekolah tertempel tulisan pesan moral “aku benci korupsi-aku benci narkoba” sebuah pesan berharga agar pelajar tidak rentan terjerumus dalam perbuatan terkutuk itu, justru NARKOBA merajalela menghinggapi kalangan narapidana, yudikatif, eksekutif, legislatif hingga aparat penegak hukum (tentara dan polisi), selebritis pun tak luput jerat narkoba, padahal pesan tersebut syarat akan nilai-nilai ilmiah seperti objektivitas, kejujuran, dan integritas. Lebih memprihatinkan lagi, beberapa pelaku kejahatan seksual pedofilia justru berkedok internasional di sekolah bertaraf internasional. Lagi-lagi budaya bebal telah merasuki berbagai kalangan tanpa mengenal kasta.
[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"]
***
[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"]
Pengalaman setiap pagi saat berangkat kerja selalu naik angkot/pete-pete, sepinya penumpang mempengaruhi unsur kesengajaan memperlambat laju kendaraan maju-mundur dengan memperhatikan setiap pejalan kaki yang lalu lalang di jalan, padahal belum tentu mereka naik angkot, dalam suasana terburu-buru berpacu melawan waktu serta menenggak obat, dan kesabaran itulah diuji melawan kerasnya watak beberapa sopir pete-pete (tidak semua menjengkelkan) namun kejengkelan adalah mutlak, pengertian hanya sebatas relativitas beradaptasi dengan jadwal “masuk kerja” kedongkolan belum berhenti sampai disitu, saya mencoba berkata “tolong dipercepat sedikit laju pete-petenya daeng, sudah telat masuk kantor”. Sang sopir bukan malah memberi empati atau melajukan angkotnya, ehh!! Malah sengaja berlama-lama ngetem sembari pura-pura menarik perhatian pejalan kaki. Ma’af profesi seorang sopir pete-pete sudah sepantasnya juga mengutamakan kepentingan penumpang. Tak kalah mendidihkan darah saya, sang sopir memberi jawaban memancing emosi “kalau mau cepat ki naik taksi saja!” sungguh sebuah perbuatan moralitas tidak berkelas, dengan jawaban seperti itu, beruntung saya masih bisa menerima keadaan keruh seperti ini, setelah turun membayar lalu pergi dengan uang recehan, itu pun masih dilihatnya baik-baik.
[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"]
Belum cukup sampai disitu perilaku egoisme kian menjamur, mungkin karena “urusan perut” mengorbankan sebuah etika atas kebenaran yang sedemikian mahal itu, sehingga negeri ini mengalami defisit negarawan. Bangsa ini krisis super hero, orang-orang yang berjuang keras menegakkan nilai-nilai kebenaran tidak punya tempat lagi di negeri ini. Mereka seperti terbuang dalam kemalangannya, dimana sebuah peristiwa kesemerawutan sebuah ibukota menjadikan “sebagian” manusianya berlagak seperti bangsa bar-bar, kasar, egois, gelap mata, dalam memberlakukan sebuah tanda-tanda lalu-lintas seperti tidak pernah berakhir. Kira-kira di tempat yang semacam itulah, super hero bangsa ini terjerembab.
[caption caption="Dokumen Pribadi/Subhan Riyadi"]
Realisasinya traffic light hanyalah onggokan besi tua, penghias titik-titik jalan sisa proyek akhir tahun. Keberadaan zebra kross inilah saatnya pejalan kaki di anggap bak raja jalanan. Tanpa harus di burui, tanpa rasa takut di tabrak. Melenggang santai saja seperti jalan itu milik sendiri. Mau menyeberang ramai-ramai maupun sendirian sama saja. Tetapi disini Makassar (indonesia) kesadaran itu masih RENDAH!!!, berpotensi SIAPA CEPAT DIA DAPAT.
[caption caption="Dokumen Pribadi/ Subhan Riyadi"]
Makassar, 16 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H