Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

“Danone” Korporasi Raksasa Pembunuh Negara Indonesia

14 April 2016   19:05 Diperbarui: 15 April 2016   07:39 1360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dokumen Literasi Kompasiana Club/Abbey"][/caption]Mengutip sejarhnya sebuah tempat prestise Taman Pintar berdiri atas inisiatif dan ide Pemerintah Kota Yogyakarta untuk menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada tahun 1990-an, terutama di bidang teknologi informasi. Memang, perkembangan teknologi informasi di satu sisi berperan besar dalam menghantarkan manusia menuju era baru, sebuah era tanpa batas.

Memang diakui Taman Pintar Yogyakarta merupakan wahana rekreasi yang dikemas dengan konsep wisata edukasi, sehingga selain menyediakan wahana dan fasilitas bermain, juga menawarkan wahana belajar, terutama bagi anak-anak. Diberi nama Taman Pintar, karena memang diharapkan tempat ini menjadi wahana rekreasi sekaligus fasilitas untuk memperdalam pemahaman materi pendidikan yang diterima di sekolah, terutama berkaitan dengan perkembangan teknologi.

Sebagai abdi negara yang berkompeten di bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ini sebuah kebanggan sekaligus terharu keberadaan objek wisata Taman Pintar mengatas namakan wahana rujukan pendidikan dan teknologi skala internasional. Kontroversi berdirinya Taman Pintar merupakan “buah simalakamah” Institusi Lingkungan Hidup terkait “kredibilitas, kapabilitas, elektabilitas” yang akuntabel.

Keresahan disuarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, Pemuda-Pemudi Peduli Lingkungan tentu mengusik keaslian ekologi atas keberadaan wahana tersebut. Keberadaannya selain meningkatkan Pendapatan Asli daerah (PAD) tentu menguntungkan pihak-pihak sponsor. Patut disikapi secara positif, sehingga generasi muda “terlena” bahwa wahana belajar, terutama bagi anak-anak usia pra-sekolah dan siswa sekolah tersebut mengancam keselamatan lingkungan.

[caption caption="Dokumen Literasi Kompasiana Club/zona air"]

[/caption]Satu lagi zona air Taman Pintar bekerjasama dengan Danone Aqua mengkamuflase pendapat masyarakat akan kebaikan Danone Aqua, merupakan kesadaran terkemas secara apik sehingga banyak meraih simpati “pemangku” kepentingan serta delegasi perusahaan. Siapa yang mampu menolak “korporasi” raksasa sekelas Danone. 

Ironi keberadaan Pemerintah daerah setempat tumbang oleh rayuan investor “menggiurkan” sehingga kegelisahan Penyeru Gerakan Penyelamatan Lingkungan dianggap “mimpi di siang bolong” klaim-klaim pecinta lingkungan bahwa Danone sebagai penghisap air terbesar dikolong jagad dianggap biasa. Sungguh sebuah duka berkepanjangan akan muslihat perusahaan “raksasa” bermerek Danone-Aqua. sehingga kurang mendapat respon dari “pemangku” kebijakan setempat seolah tuli akan keberadaan wahana “minteri” atau harus nunggu terjadi “bencana” baru kebakaran jenggot adu argumen“pembenaran”.

[caption caption="Dokumen Literasi Kompasiana Club/Abbey"]

[/caption]Ketersediaan lahan Taman Pintar tentu tidak luput dari “konspirasi” institusi pembebasan alih fungsi lahan “kepentingan” investasi sesaat tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan. Dibangun diatas tanah lebih kurang seluas 12.000 m2 tersebut secara tidak langsung memprovokatori budaya kearifan lokal masyarakat Jogyakarta, dikatakan demikian pola masyarakat menjadi lebih“hedonisme,” karakteristik konvensional beralih moderen, awalnya belanja di warung tetangga atau belanja di pasar tradisional kini “shopping” di supermarketdanMall.

Menyiksa sumberdaya alam secara membabi buta, tentu sangat mempercepat global warming. Pasalnya dampak yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan kian terasa nyata di tengah masyarakat. Untuk kondisi alam seperti ini Pemerintah setempat kok malah tutup telinga, tutup mata bahkan tutup pintu kebaikan. Ini sebuah berita tidak baik berdampak buruk bagi kelestarian ekologi. Apakah ini ada korelasinya terhadap keberadaan lokasi taman pintar Jogjakarta.

Tidak dapat disangkal, operasional Taman Pintar “mendownload” begitu leluasa material air dari perut bumi menciptakan petaka. Akan berdampak pada kerusakan ekosistem. Kerusakan tersebut sifatnya permanent, sekali suatu daerah dibuka untuk objek wisata seperti Taman Pintar maka daerah tersebut akan berpotensi menjadi rusak selamanya, apapun dalihnya. Kerusakan ekositem yang ditimbulkan dari aktivitas wisata berupa: perubahan bentang lahan, penurunan produktivitas tanah, terjadi erosi, hilangnya habitat flora fauna, perubahan iklim mikro.

Membaca maraknya aktivitas pengunjung objek wisata Taman Pintar di Jogjakarta, lambat laun pasti akan terjadi petaka lingkungan. Perusahaan besar level Danone dan pihak-pihak “pemberi” ijin serampangan tanpa memperhatikan kondisi lingkungan perlahan tapi pasti diprediksi secara kasat mata akan terlihat.

Ini bukan sesuatu yang sentimen melainkan hak kesenjangan sumber daya air, tolong dengar suara kami (Aktivis Lingkugan) lalu sampaikan“Dengan merusak alam sekitar berarti kita juga merusak diri sendiri, karena manusia adalah bagian dari alam”.

KOMPASIANA sebagai rumah besar sekaligus penyambung lidah tentu akan dengan senag hati memediasi warganya (kompasianer), mempublikasi setiap konten dibuat oleh dan menjadi “tanggungjawab” penulis. Bahwa aspirasi ini senafas dan seirama dengan apa yang dilakukan warganya, kadang kurang mendapat perhatian serius oleh kepentingan “ego sektoral”.

Pada titik ini melanjutkan aspirasi kompasianers David Effendi dan Misbah Mustofa (Ketua Water For All Community Jogjakarta) sekiranya pantas menjadi renungan berbagai stakeholder yang berpihak pada “corporate” asing, berikut rangkuman dan kompilasi Surat Terbuka dari Ketua Water For All Community Jogjakarta:

1. Kerjasama ini pencitraan untuk tujuan mulia yakni pendidikan tentang air sejak usia dini.

2. Danone mengeksploitasi sumberdaya air dengan Merek Dagang Aqua di Indonesia merupakan perusahaan penjual air minum dalam kemasan yang memanfaatkan sumber daya air di Indonesia yang menjadikan sebagai perusahaan air botolan nomor satu di dunia, dengan mengerahkan 17 pabrik yang tersebar di Indonesia. Jumlah ini amat fantastis karena jauh lebih banyak dibandingkan Evian, produk asli Danone di Perancis., menurut website Aqua memperoduksi setahunya 16 milyar liter/tahun.

3. Penguasaan bisnis Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) dikuasai sebesar-besarnya oleh pihak asing (Aqua Danone).

4. Dampak ekologis yang ditimbulkan dengan beroperasinya mesin penghisap air, mampu memproduksi sejumlah 1,2 Milyar liter per tahun, bisa dibayangkan berapa liter sumberdaya air dirampas pihak Danone-Aqua. Perlawanan masyarakat Klaten seringkali diselesaikan dengan kekerasan psikis dan intimidasi.

5. Dengan tetap memasang logo Danone Pihak Danone tidak mempunyai empati terhadap aktivis lingkungan yang berjibaku untuk reformasi UU Sumber Daya Air yang berakhir pada dibatalkannya UU No. 7 Tahun 2004 Tenatang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi.

6. Negara segera ambil alih peran swasta asing pengelolaan Air Minum guna memenuhi hajat hidup orang banyak.

7. Ironis, dikala susah payah reformasi sumberdaya Air, Pemerintah Kota Yogjakarta bergandengan tangan dengan pihak Danone-Aqua mendirikan Wahana Air di Taman Pintar, mengkampanyekan seolah-olah perusahaan Aqua itu baik tak berdosa.

8. Praktik kerjasama ini menyakiti nurani pejuang reformasi sumberdaya air dan menghina Mahkamah Konstitusi dan kedaulatan negara Republik Indonesia.

9. Pemberian logo sponsor Aqua Danone dalam wahana Taman Pintar yang dibangun menggunakan anggaran negara indonesia tidak bisa dibenarkan akal sehat.

10. Pemasangan logo sponsor perusahaan “perusak” lingkungan adalah “pencitraan” Danone dapat menyesatkan logika publik.

11. Perusahaan yang telah “mendownload” air dengan membabi buta dan mengunduh keuntungan luar biasa, mungkin bisa membeli siapa saja, APA saya termasuk membeli “Negara”, tetapi tidak pernah membeli akal sehat.

Tidak adanya laporan kerugian ekologi dari Pemerintah setempat dibalik ijin pembangunan Taman Pintar di Yogjakarta sungguh menggelikan, itulah kegelisahan pecinta lingkungan selama ini hanya dianggap sebagai “cuttonbut” telinga-telinga institusi terkait. Yang menjadi kekhawatiran masyarakat setempat seorang Aktivis Lingkungan seperti Misbah Mustofa (Ketua Water For All Community Jogjakarta) hanya dianggap “kriminal” murni, lalu aspek pelanggaran lingkungan dan HAM terabaikan.

Wahai Aktivis Lingkungan se-Jogjakarta, jangan lah mau terjebak dengan permainan “cuci otak” pemegang kebijakan mereka yang sudah “terstruktur, masif dan sistematis” karena selama ini mereka akan terus saja membuat kita tersesat dalam kebingungan, alih fungsi lahan produktif menjadi Shopping Center atau Mall seolah olah bijak padahal isinya hanya sampah, berulang ulang dengan kebaikan padahal ia penjahat.

Makassar, 14 April 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun