Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Andai Ibuku “Novelis Stensilan” Enny Arrow

10 Januari 2016   16:38 Diperbarui: 11 Januari 2016   13:56 918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Andai ibuku novelis "stensilan" Enny Arrow, sudah barang tentu pertanyaan pertama terbersit adalah siapa bapakku. Bukan hanya itu saja yang terngiang dalam benakku karena kenapa ibu mau menulis novel stensilan seperti ini. Sudah pasti jawabannya “menyalurkan bakat menulis,” untuk mempertahankan kompor dapur tetap ngebul nak!!!, hingga harus menulis novel ini, hingga kini saya berterimakasih kepada Tuhan karena ibuku bukan sang novelis stensil.

Andai takdir berkehendak lain Enny Arrow itu betul ibuku, suka tidak suka harus diakui bahwa itu ibuku? Sejahat apapun dia tetap ibuku, karena “syurga tetap berada dibawah telapak kaki ibu” apapun profesinya. Ibu telah mengandung selama 9 (sembilan) bulan, sekaligus mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkan jabang bayi ke muka bumi. Seperti apakah raut novelis ini? tidak ada data akurat mengenai sosok Enny Arrow. Novelnya saja dibenci kaum hawa (cewek-cewek ABG, hingga ibu-ibu) akan tetapi paling digemari kaum adam (cowok-cowok ABG, hingga bapak-bapak), gaya bahasanya apa adanya, vulgar dan hiperbolis, permainan kata-katanya memang menggugah syahwat pembaca.

Era kejayaannya penggemar novelnya tidak hanya anak-anak SMP atau SMA, yang memang memasuki masa pubertas tinggi tentang pelajaran seks (sex education), namun juga dikalangan dewasa tanpa terkecuali.

Dalam tulisannya tertuang sentuhan konspirasi birahi, sehingga pembaca merasa cintanya terkudeta, seakan-akan bercumbu dalam lautan asmara kamasutra, tak jarang pembaca seperti saya (era tahun 80-an) sembunyi-sembunyi menghayati peran yang dibuat sang novelis. Mata dibuat melotot, mulut dibuat menganga, jantung dipaksa berpacu lebih kencang, tak jarang desahan merasakan kenikmatan rayuan “Enny Arrow” refleksi klimaksnya oh...no, oh...yes!!! oh...my god!!! basah dech....laki-laki munafik menolak “main sabun” atau langsung terjun ke tempat hiburan malam, untuk suami-suami yang telah berpasangan tentu telah memiliki sasaran “tembak” tersendiri, lain halnya saat landasan pacu bertanda “merah” itu artinya harap mengalah atau lampiaskan dilain “kesempatan” uhuy!!

Karangan Enny Arrow memang terkenal vulgar dan hiperbol mengekspose segala kebinalan seks secara buka-bukaan. Karena memang gaya penulisan novel stensilan dimaksudkan untuk menggugah syahwat pembacanya. Penulis sengaja mengajak pembaca berinteraksi ke dalam arus erotisme sensualitas mendesah, larut dalam kenikmatan ranumnya buah “quldhy” milik kaum hawa.

Dan sudah barang tentu rasa penasaran membawaku untuk lebih mengenalnya, bagaimana bisa mendapat inspirasi menulis novel sedahsyat hubungan intim bersama pasangannya? Pernah terbersit pertanyaan, apakah saat menulis Enny Arrow merasakan kenikmatan yang sama atau hanya sekedar cerdas memainkan kosa kata “organ intim” manusia? Entahlah, hingga tua seperti sekarang ini wajah novelis Enny Arrow tidak pernah saya dapatkan.

Dari karya-karya yang tersaji sudah barang tentu tidak bertujuan menyimbolisasi apa-apa? Selain suguhan fantasi aktivitas seksualitas berkualitas itu sendiri, kendati pun fakta bahwa teks-teks demikian itu “pernah” ada, dan beredar secara sembunyi-sembunyi di tengah masyarakat, bisa saja menyiratkan kenyataan tertentu di luar teks merupakan representasi berlangsungnya represi moral masa kini adanya kemungkinan sosial yang terpendam.

Tetap bersyukur dengan menjadi anak Enny Arrow, pandai memainkan kalimat-kalimat erotis, sehingga pembacanya terbawa arus asmara. Lah wong jadi koruptor saja bangga kok, bahkan sebelum diinterogasi KPK menyempatkan diri melambaikan tangan ke media publik, ala “puteri indonesia” hebat to.?

Namun, seiring dengan perkembangan dunia internet, yang menjanjikan kemudahan tanpa batas mengakses pornografi, perlahan-lahan karya-karya inspiratif Enny Arrow mulai ditinggalkan penggemarnya. Keberadaan Enny Arrow hingga kini masih misterius lenyap ditelan bumi.

Sekarang situasi seratus persen berubah, tanpa kehadiran novelis seperti Enny Arrow, kini bermunculan berbagai kejahatan seksual seperti pemerkosaan terhadap anak-anak, mucikari prostitusi online melibatkan “artis” hingga memunculkan label “robot gedhek, peadofil, predator dll” diam-diam meresahkan, lebih kejam dari novel-novel stensil karya Enny Arrow atas norma-norma yang berlaku. Edan tenan!!!.

sumber: Gambar

Diolah dari pelbagai sumber.


Makassar, 08 Januari 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun