[caption caption="Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Djoko Sasono (tengah) dan Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol Condro Kirono (paling kanan) di Kantor Kementerian Perhubungan, Jakarta Pusat, Sabtu (26/12/2015) | Foto: KOMPAS.com/NABILLA TASHANDRA"]Kabar berita mundurnya Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan, Djoko Sasono dalam jajaran Kabinet Kerja Joko Widodo, bagi saya merupakan fenomena mencengangkan.
Alasan beliau (Djoko) mengundurkan diri merasa gagal mengatasi kemacetan di Ibukota. Masalah kliasik seperti kemacetan terjadi saat liburan panjang pada pekan lalu disebabkan lantaran adanya hari libur nasional yang jatuh secara bersamaan (Maulid Nabi Muhammad SAW, Natal, Tahun baru). Toh mau bilang apa? Langkah ini contoh positif atau suatu “kemunduran” bagi pejabat publik yang diberi amanah mengurai kemacetan lalu lintas di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang serta Bekasi (JABODETABEK) bahkan di Indonesia, yang jelas langkah ini berjiwa ksatria dan patut mendapatkan apresiasi!
Paling tidak bangsa ini membutuhkan pemimpin “bertangan besi” sedikit “gila” seperti Ahok, beliau tegas terhadap keputusannya mengurai kemacetan serta menata ketertiban pasar tanah abang, dimana selama ini “biang kerok” kemacetan daerah tanah abang.
Kemacetan ini tidak semata-mata "kegagalan"Dirjen Perhubungan Darat, kemacetan yang terjadi menandakan adanya kontribusi positif dan negatif. Dari segi positifnya, melihat masyarakat telah memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk membeli kendaraan roda dua atau motor, bayangkan daya beli kendaraan seperti membeli kacang, acapkali produk baru keluar pasti laku terjual, daya beli kendaraan roda empat atau mobil begitu ketat. Jika dalam satu rumah memiliki sedikitnya 4 (empat) mobil maka kemacetan kian “mewabah.”
Namun, disisi lain, terjadinya kemacetan menandakan ketidakmampuan pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur nasional.
Berlakukan aturan memusnahkan kendaraan tahun 90’an kebawah usia uzur, butut merupakan salah satu solusi mengatasi kemacetan di Indonesia. Ketika sudah merambah ke Hak Asasi Manusia (HAM) “runyam” urusannya, dibutuhkan kepekaan hatinurani untuk mengentaskan hal satu ini. Ketika pejabat publik tidak berani mengambil “resiko” mengurai kemacetan “segila” Ahok, maka kemacetan hanya berlaku dalam undang-undang lalulintas, percayalah.!!!
Meski begitu, kemacetan yang terjadi menjelang libur panjang pekan lalu bukan sepenuhnya tanggungjawab Kementerian Perhubungan. Tapi pak Djoko mengambil alih tanggungjawab atas ‘karut marut” lalu lintas patut diacungi jempol, yang sudah-sudah banyak pejabat terlibat tindak pidana korupsi “bebal” enggan beranjak mundur dari zona nyaman.
Menelisik tradisi ksatria samurai jepang ketika merasa gagal memimpin merupakan “aib” terbesar, maka untuk menutupinya maka dilakukan ritual “harakiri”. Filosofi Harakiri adalah menyodet perut sendiri dengan pisau pendek setajam silet, bukan hanya menusuk, tapi menyobek perut dari arah kanan ke kiri dan dari atas ke bawah. Tidak boleh merintih kesakitan, apalagi teriak mengaduh—meski usus terburai. Dan bila tak sanggup menahan siksa atas kepedihan itu, seorang ALGOJO (kaisaku) siap memenggal kepala hingga meregang nyawa.
Ritual ini, bukti bahwa harakiri bagi ksatria samurai bukanlah aktivitas sembarangan. Hanya orang-orang berani, setia, jujur dan tahu malu saja yang sanggup melakukannya, bukan oleh para pecundang dan pengecut.
Bukan cerita aneh, jika di jepang melakukan kesalahan dan dosa sosial dianggap meruntuhkan harga diri. Jika seorang pejabat terindikasi korup mereka memilih mundur—dan bahkan ada yang melakukan bunuh diri. Mereka bangsa Jepang jauh dari watak pengecut, tidak mengherankan negara Jepang lebih maju dari Indonesia.
Ini indonesia, bukan jepang. Mundurnya Djoko tetap saja tidak akan mengurai kemacetan, tidak banyak pengaruhnya “pejabat publik lain layak mencontoh apa yang dilakukan sang Dirjen.” SALUT!!!