Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terhormat Manakah, Plagiat atau Koruptor?

13 Agustus 2015   18:09 Diperbarui: 13 Agustus 2015   18:18 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Awalnya saya paranoid merasa akan dituntut untuk menulis tentang plagiat, takut akan teror penulis-penulis kondang se kaliber Prie GS, Andrea Hirata dll, dampak terbesarnya adalah akan menurunkan reputasi mereka. Akhirnya dengan nawaitu apa adanya rampung juga tulisan ini.

Motivasi saya sebagai plagiat ingin dicatat dalam sejarah sebagai orang pertama penggiat plagiat KAKAP di Indonesia. Tidak perlu sungkan atau MALU ketika harus mengakui sebagai Plagiator. Justru menurut hemat saya suatu kebanggaan tersendiri.

Toh pada akhirnya dunia ini akan menyadari bahwa keberadaan plagiat masih sangat dibutuhkan guna melestarikan popularitas hasil karya penulis. Terjebaknya bakat plagiat seseorang membuatnya seperti benalu, akui saja saya "plagiat" Sebab manusia dikolong langit saat ini tak ada lagi yang bisa dipercaya.

Dunia pendidikan terbilang rata-rat dalam merampungkan skripsi, tesis, disertasi, apapun sebutannya tanpa sadar terlibat plagiat. Dalam benak penulis tenar pun tak luput dari praktik-praktik plagiat, meski sebelumnya telah terinspirasi ribuan miliar konsep briliand, awalnya pasti ada sesuatu yang dilihat, diraba, diterawang sehingga menelorkan karya tulis best sellers, tapi tetap melampirkan daftar pustaka pada halaman belakang.

Diatas langit masih ada langit. Sebagai plagiat merupakan kebanggaan tersendiri, dengan merilis ulang sebuah lagu atau musik karya musisi, terlahir dari sana. Mengakui hasil karya orisinil merupakan hal utama, yang pasti dengan adanya plagiat bukanlah sesuatu hal TABU.

Menghormati, mengakui dan memberikan apresiasi karya orang lain menjadi suatu keharusan dalam “mengcopy paste” karya tulis, tak perlu ragu ketika ingin menulis karena ilmu pengetahuan dikembangkan berdasarkan pada ilmu yang sudah ada sebelumnya. Hal ini harus dipahami sebagai kejujuran intelektual yang tidak akan menurunkan bobot tulisan. Sebutkanlah dengan jujur sumber rujukan yang digunakan, atau mengutip, sehingga akan nampak jelas, bagian mana dari karya kita yang merupakan gagasan orang lain, dan yang mana gagasan kita sendiri.

Tidak mudah mengaku sebagai plagiat ulung, yang terjadi adalah hujatan dan makian dari kalangan akademisi dan musisi, sehingga PLAGIAT dianggap disorientasi rasionalitas, sepertinya KORUPTOR lebih mulia dari PLAGIAT, pada zaman ketamakan ini kita tampaknya lebih memihak orang-orang yang mau diajak kongkalikong patgulipat dan itulah realitas yang kita lihat sekarang.

Dalam kitab sucinya PERMENDIK RI NO. 17 TAHUN 2010 “Plagiat adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai suatu karya ilmiah, dengan mengutip atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai”.

Suatu dilematis yang tak berkesudahan ujung pangkalnya. Hidup segan mati tak mau ketika berhadapan dengan “death line” merampungkan karyanya sebelum batas waktu yang telah ditentukan oleh DOSEN, hanya TUHAN, waktu dan dirinyalah yang tahu, “mampus dech !!!”

Kemelut menyeruak ke permukaan tatkala hasil royalty menyisakan kesenjangan, karena sudah termaktub “dalam undang-undang”, nah secara tersurat maupun tersirat lolos dari jerat hukum jika mampu memenuhi tuntutan hukum.

Impian terbesarku memiliki studi centre bergerak di bidang plagiat. Dengan menjaring anak-anak muda berbakat tanpa harus menjilat atau menyuap, termasuk merangkul komunitas hacker, craker buat memuluskan “rencana” besar ini. Visi utamanya adalah menggiatkan plagiat menuju karakter yang lebih berkualitas.

Sepertinya semua hanya fantasi tingkat tinggi, dibutuhkan keberanian serta donatur kakap untuk merealisasikan gagasan tersebut. Tujuannya membina generasi muda menjadi plagiat yang baik dan benar tanpa ada pihak tergugat maupun digugat dan semua hasilnya di sumbangkan buat rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, selebihnya buat operasional karyawan dan perbaikan bumi. Sehingga menuju masa depan lebih kreatif, inovatif, produktif, proaktif dan peduli lingkungan.

Bahkan segala bentuk plagiat yang dapat dipertanggung jawabkan dengan senang hati akan saya layani.

Ketika hukum rimba memihak terhadap hal-hal aneh dan tidak strategis akan menuai “sentimen negatif”. Sebaliknya ketika menguntungkan tanpa canggung dilindungi mati-matian demi sebuah “untung”.. Mega Mind merupakan pusat plagiatisme terbesar di indonesia yang ingin saya wujudkan, meski menuai pro dan kontra dari kalangan terpelajar, hal tersebut sudah saya prediksi sebelumnya, tidak akan mendapatkan legitimasi dari pemerintah.

Ide-ide cemerlang seperti ini hanya bisa terwujud di dunia teletubbies. Plagiatisme akan sukses jika ada campur tangan, garis tangan, dan dibalik tangan (uang sogok) dalam memuluskan sebuah rencana miskin peminat.

Plagiat merupakan prestasi yang “malu-malu” diakui dunia internasional, bahwa plagiat tidak semuanya berkonotasi buruk. Lah wong !!! koruptor kakap saja menemukan kenyamanan, masak plagiator tidak bisa, kan sama-sama maling yang membedakan satu kakap satunya teri.

Animo masyarakat kita terhadap minat baca rendah disebabkan peraturan tumpang tindih, maka secara tidak langsung mengajari masyarakat pada sistem “tumpang tindih”.

Andai peraturan membela profesi berupa karya seni tentu bangsa ini kaya informasi publik orisinil. Dahulu indonesia paling disegani bahkan sebagai ajang pusat study negara tetangga. Akhir-akhir ini negeri kita jauh terpuruk dalam limbah kriminalitas.

Banyaknya manusia-manusia cerdas yang berkeliaran hanya bisa memberi solusi tanpa realisasi, bukankah lebih baik sedikit solusi tapi banyak realisasi dari pada banyak solusi tetapi tidak ada realisasi, sehingga daya dukung dan daya tampung masyarakat kian MENGUATIRKAN.

Menulis, saya ibaratkan ngomong, konsonan vokalnya tak selalu realistis, ungkapannya terkadang ceplas-ceplos kalaupun ada kemiripan bukanlah suatu unsur kesengajaan. Tak ada salahnya mengakui penggiat Plagiat, Hasrat terkuat saya ingin menorehkan Rekor Muri dari bapak Jaya Suprana sebagai pengakuan jujur plagiat kakap, koruptor saja mendapat tempat tersendiri di mata hukum, seharusnya plagiat juga mendapat perlakuan “emas”.

Proyek Mega Mind Plagiat akan menuai hujatan, makian, cibiran dari para pakar pendidikan, dikatakan kejahatan “intelektualitas”, faktanya belum terekspose besar-besaran seperti kejahatan koruptor yang memang dampak kerugian materialnya begitu mencemaskan harkat dan martabat bangsa dan negara.

Gelar Master copy paste (Msc) tentu sangat menodai wajah pendidikan, seperti halnya mencuri sandal jepit usai sholat jum'at, tentulah mencoreng moreng, dalam kondisi the power of kepepet tindakan tersebut dihalalkan.

Beberapa alasan pemicu plagiat diantaranya :

  1. Terbatasnya waktu untuk menyelesaikan karya tulis yg merupakan beban tanggungjawabnya sehingga copy paste karya orang lain termasuk opini saya ini.
  2. Masih rendahnya minat baca ditengah serbuan smartfone/gatdget canggih.
  3. Menjamurnya jasa pengetikan karya tulis memudahkan penyelesaian tepat waktu, urusan plagiat tanggungjawab client, urusan perut tak pandang bulu, ada uang tentu ada jasa. Hari gini mah, tidak ada yang GRATIS !!!!!!!!!!!!!!.
  4. Googling.

Apapun alasan melakukan tindakan meniru bukanlah suatu pembenaran. Saya tidak akan membahasnya terlalu mendetail, sudash terlalu banyak pakar analisa plagiat, serahkan saja sama ahlinya.

Tumpang tindihnya regulasi punishmen penyudutan plagiat berorientasi “uang” tak menyurutkan nyali orang menempuh tugas tepat pada waktunya. Sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga, tak mudah menumpas plagiat, karena selama ini kader-kader emas bangsa terpatri pada tindakan kriminal, prostitusi, narkoba, tindakan radikalisme dan seterusnya.

Penyelewangan koruptor kakap turut andil menambah kemiskinan sehingga bukan rahasia lagi tindakan bunuh diri pilihan “suci” mengakhiri kesewenang-wenangan hidup seolah tak mau pergi dari negeri ini.

Ketidak normalan jaman seprtinya melakukan pengutipan dalam dunia pendidikan bukanlah hal tabu, dimana koruptor merupakan legalitas tertinggi mendapatkan legitimasi berbentuk lembaran kertas bercap LULUS dari dunia pendidikan.

Peraturan dibuat tak merubah apapun terhadap plagiat. Asal anda pejabat hebat pasti lolos dari jerat. Saya percaya, indonesia mempunyai keadilan karena negara ini adalah negara hukum. Akan tetapi terkadang hukum di indonesia tajam ke bawah tumpul keatas, selalu ada saja pejabat "karbitan" sudah merasa memiliki negara, memangnya negara ini milik nenek moyang loh!!!.

Sebuah pertanyaan besar selalu berkecamuk dalam benak, terhormat mana Plagiat atau Koruptor?


Makassar, 13 Agustus 2015

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun