Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Filosofi Gundul-Gundul Pacul Sunan Kalijogo Buat Pemimpin “PALSU” Antagonis

25 Juni 2015   18:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:12 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semasa saya kecil sering menyanyikan lagu-lagu Gundul-Gundul Pacul, liriknya sangat kental dengan logat jawa, tanpa dosa biasa dinyanyikan secara cengengesan saat dolanan baik di sawah maupun di jalanan. Setelah puluhan tahun, saya baru sadar Gundul-Gundul Pacul mengandung nilai filosofis yang dalam.

Melalui ajang pencarian bakat dakwah Aksi Indosiar menyaksikan dakwah AKSI indosiar yang dibawakan oleh da’i-da’i muda berbakat generasi penerus uztad-uztad senior dan profesional, pas kebetulan da’i Hari asal Purwokerto, membawakan materi filosofi Gundul-Gundul Pacul, nah dari situ saya kagum dengan pencerahan tersebut, meski sederhana namun memiliki makna luas.

Gayanya ngocol nan ngebanyol, lugas, dengan bahasa kocak, logat ngapaknya belepotan di beberapa bagian, disitulah perbedaan Da’i Hari dengan kontestan lain, entah karena demam panggung atau ingin tampil sempurna di hadapan dewan juri, terlepas itu semua insya alloh pesannya sampai ke penonton baik langsung maupun di rumah. Saat Hari tampil wajahnya mengingatkan figur komedian legendaris indonesia warkop DKI Alm. Dono.

Tanpa buang waktu saya mencoba merayu kompasiana.com baru. Menulis kembali, menelusuri berbagai referensi milik mbah GOOGLE, untuk mengetuk pintu hati pemimpin moderen yang tidak mau menoleh, kecuali embel-embel TITEL disebut saat namanya dipanggil. mudah-mudahan tata kelola bahasa berkenan sampai kepada para pemimpin hingga di pelosok indonesia yang rata-rata memiliki budaya kerja korup, egois, individualis, kapitalis, otoriter dan feodalis terbuka mata, telinga, penglihatan juga hatinya.

Sebelum mengulas tembang lebih luas, hambar bagai sayur kurang garam apabila tidak mengenal sejarah singkat sang pencipta tembang tersebut. Pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta.

Sejarah singkat Sunan Kalijaga...
Nama kecil adalah Raden Said, Ayahnya adalah seorang Adipati Tuban-keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe bernama Raden Arya Wilatika. Beliau juga memiliki nama panggilan Lokajaya, Syeh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.

Kalangan jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali untuk kungkum (berendam) di sungai (kali) atau jaga Kali (menjaga sungai) ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan. Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai 100 tahun.

Dalam dakwahnya memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk dakwh, beliau sangat toleran dengan budaya lokal. Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan islam, menggunakan seni dan terbukti metode tersebut terbukti efektif sebagian besar di daerah jawa memeluk islam melalui Sunan Kalijogo.

Salah satu tembang legendaris adalah Gundul-Gundul Pacul Konon tembang ini diciptakan pada tahun 1400-an oleh Sunan Kalijogo dan teman-temannya saat masih remaja. Syia’r penyebaran agama islam yang dibuat oleh Sunan Kalijogo terbilang unik namun mempunyai arti filosofis yang dalam dan sangat mulia.

Sebelum menguraikan arti filosofis tembang Gundul-gundul Pacul, kita baca dulu liriknya:
“Gundul gundul pacul-cul, gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan
Wakul ngglimpang segone dadi sak latar
Wakul ngglimpang segone dadi sak latar”

Gundul artinya plontos/botak tanpa rambut. Kepala perlambang kehormatan dan kemuliaan seseorang, sementara rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Dengan demikian, gundul artinya adalah kehormatan yang tanpa mahkota.

Orang Jawa memiliki filosofi tentang pacul, pacul/cangkul merupakan papat kang ucul (empat yang lepas). Maksudnya adalah kemuliaan seseorang akan sangat tergantung pada empat hal. Yaitu, bagaimana seseorang menggunakan matanya, hidungnya, telinganya, dan mulutnya.

Mata itu seharusnya digunakan untuk melihat kesulitan rakyat, telinga digunakan untuk mendengar nasihat, hidung digunakan untuk mencium aroma wewangian kebaikan, dan mulut digunakan untuk berkata-kata baik penuh kearifan, adil, bijak. Jika, keempat hal tersebut luntur dari seorang pemimpin maka rendah sudah kedudukan serta kehormatannya.

Kemudian gembelengan mengandung makna besar kepala, sombong, dan suka bermain-main dalam menggunakan kehormatannya. Banyak pemimpin yang lupa bahwa dirinya sesungguhnya mengemban amanah rakyat, tetapi dia malah menggunakan kekuasaannya sebagai kemuliaan dirinya, menggunakan kedudukannya untuk berbangga-bangga di antara manusia, Semua hal dianggap mudah, semua hal dianggap dapat diganti dan dibeli, minta dihormati tanpa mau menghormati dan semakin melupakan apa itu nurani ???, menganggap kekuasaan itu karena kepandaiannya (adigang, adigung, adiguno).

Selanjutnya arti nyunggi nyunggi wakul-kul maksudnya adalah membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya. Wakul sendiri menyimbolkan kesejahteraan rakyat, kekayaan negara, sumber daya, pajak, dan sebagainya. Banyak pemimpin yang setelah di atas lupa di bawah, bahwa dia mengemban amanah penting membawa bakul di kepalanya. Artinya bahwa kepala yang dia anggap sebagai kehormatannya berada di bawah bakul milik rakyat. Pemilik bakul lebih tinggi kedudukannya dibandingkan pembawa bakul karena ia hanyalah pembantu si pemiliknya (rakyat). Dan sekarang banyak sekali pemimpin yang masih gembelengan, melenggak lenggokan kepalanya dengan sombong, mereka pun bahkan bermain-main dengan kedudukannya. Masih ada anggapan kedudukan merupakan batu lompatan meraih “POPULARITAS” semu.

Akibatnya wakul ngglimpang segone dadi sak latar, bakul jatuh dan nasinya tumpah kemana-mana. Artinya, jika pemimpin gembelengan maka sumber daya akan tumpah kemana-mana, tidak terdistribusi dengan baik dan kesenjangan sosial muncul dimana-mana. Nasi yang sudah tumpah ke tanah sudah tidak bisa untuk dimakan lagi karena kotor. Ya rejekinya ayam, hanya bermodalkan (kertok) ceker sama patok kenyang mengais nasi bercampur debu pasir jalanan.

Meskipun dimaksudkan untuk selalu menghormati pemimpinan, namun tidak membutakan diri untuk meniai perbuatan pimpinan. Karena pemimpin juga memiliki kewajiban yang sama untuk selalu melakukan perbuatanyang benar, baik dan pener. Justru yang memimpin dituntut "lebih" dalam mengaktualisasikan budi pekerti luhur.

sumber gambar : www.google.com

Pimpinan yang tidak memiliki budi pekerti yang luhur disebut tuwa tuwas lir sepah samun (Orang tua yang tidak ada guna dan makna sehingga tidak pantas di tauladani). Gundul-Gundul Pacul merupakan bahan renungan buat Pemimpin “Palsu” Antagonis. Pemimpin yang tidak memiliki budi luhur bukan pemimpin sejati.

Dengan demikian, makna kalimat ini adalah bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota, tetapi pembawa pacul untuk mencangkul (mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya). Namun, pejabat tinggi yang sudah kehilangan empat indera tersebut akan berubah sikapnya menjadi congkak (gembelengan). kepemimpinannya itu berantakan sia-sia, gagal tugasnya mengemban amanah rakyat, hanya sebagai parasit bagi kesejahteraan rakyat.

sumber gambar : www.google.com

Menulis memang gampang, bicara itu mudah, sebab lidah tak bertulang, tak semudah membalik telapak tangan. Pemimpin juga manusia tak luput dari salah dan dosa.

Saya teringat hembusan bisikan setan, jangan uring-uringan dan ngomel-ngomel kasar di hadapan atasan, namanya juga birokrasi DIA hadir memang untuk memimpin BAWAHAN, jangan gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Rugikan !!!.

sumber : pelpagai sumber

Makassar, 23 Juni 2015

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun